"Seperti halnya air, ia berjuang mengalir menuruni takdirnya. Laut menjadi asin, air tanah menjadi tawar, air terjun mengalir kebawah, sungai bermuara. Seperti halnya itulah kami, wanita. Menjalani takdirnya masing-masing."
Dadaku membusung bangga dengan segala macam sebutan manusia lainnya. Dari anak ingusan, masa puber, remaja putri, gadis, perawan tua atau bahkan seperti wanita lainnya yang disebut janda bahkan pelacur. Aku tetap bangga menjadi wanita. Karena aku perempuan.
Sebagaimana tulang itu putih. Wanita tetaplah wanita. Karena tulang juga tidak berniat berganti rupa. Sekalipun aku berdandan laki-laki, operasi kelamin bahkan mendeklamasikan diri sebagai lelaki. Aku tetaplah wanita, karena aku perempuan. Ya, aku perempuan. Aku wanita! Tidak akan pernah bisa berganti menjadi pria. Menjadi wanita bukanlah pilihan, karena jika bisa memilih sebelum lahir aku pun tidak akan meminta menjadi laki-laki. Karena laki-laki bukan wanita dan wanita bukan laki-laki. Mereka tidak pernah sama, dan tidak bisa dipaksa berada dalam satu tubuh yang sama. Ini penghinaan terhadap Maha KaryaNya.
"Lalu, bagaimana jika berkelainan sejak lahir Ay?" temanku bertanya.
"Tidak ada yang berkelainan dengan jenis kelaminnya. Yang ada hanya memainkan atau dipermainkan."
Wanita ditakdirkan hidup dengan hati dan jiwanya yang penuh cinta. Lalu, apa ini pertanda bahwa lelaki tidak punya cinta? Punya, tetapi lelaki tidak memiliki cinta yang sama dengan perempuan. Tidak pernah bisa sama. Mereka lebih suka berpetualang, mencari yang tidak ada dan tidak menghargai yang ada. Kemudian mencari setelah sudah tidak ada. Aneh bukan? Tidak aneh, lelaki memang seperti itu. Terkadang mereka lupa menghargai diri sendiri karena terlalu sibuk menilai dengan parameter angka mengenai perempuan dan keperempuanan.
Sebagian besar lelaki hanya menilai perempuan itu sebatas pangkal paha dan bau selangkangan. Karena memang hanya disana letak pikiran sebagian dari mereka. Padahal perempuan tidak melulu soal warna celana dalamnya. Catat, wanita bukan sekedar perihal besar ukuran payudara dan pinggulnya. Jika hanya menilai demikian maka pantaslah Jepang menciptakan boneka wanita untuk menemani mereka. Lelaki yang demikian tidak butuh wanita bernyawa.
"Ay, apakah tidak menikah itu dosa?" temanku yang lain bertanya.
"Dosa?" aku berbalik heran bertanya.
Sekerdil itukah menganggap wanita yang tidak menikah itu dosa. "Tapi menikah menyempurnakan diri," kata lainnya. Ah, tidak menikah pun adalah pilihan masing-masing orang. Kenapa harus diributkan? Setiap wanita itu adalah Ibu. Entah dia melahirkan sendiri atau tidak, tapi dia adalah ibu. Ibu bagi anak-anak yang dikandungnya dan ibu bagi anak-anak yang ditinggal atau dibuang orang tuanya. Ya, aku pun juga ibu yang tanpa harus melalui proses hamil dan melahirkan lebih dulu. Apakah jika tidak melahirkan kami tidak bisa mencintai anak-anak? Keliru, setiap wanita itu ada naluri yang menggerakan jiwanya menjadi ibu. Dan lelaki tidak perlu membuktikan itu dengan beroperasi plastik menjadi perempuan. Tidak perlu.
"Tapi setiap wanita harus tetap menikah, agar ada yang melindunginya," suatu hari seseorang menasehatiku begitu.
"Menikah?" terdengar sangat indah. Memakai gaun putih dan diikuti ucapan ijab qobul dari calonnya, indah bukan? Iya, indah. Tapi menikah bagiku tidak sekedar mengenai hal itu. Bukan sekedar perihal agar halal dan mempunyai keturunan atau dilindungi lelaki. Bukankah terkadang lelaki itu justru momok yang menakutkan? Ini bukan berarti aku takut, tetapi lelaki tetaplah lelaki. Ada yang baik dan ada yang buruk. Sendiri pun bukan berarti tidak mampu melindungi diri. Bahkan sangat banyak kisah menyakitkan para istri yang diam-diam disembunyikan, berpura-pura tersenyum meski mereka hancur lebur. Apa itu munafik? Mungkin.
Tapi tidak ada lelaki yang mampu setegar perempuan, lelaki justru lebih labil dalam menghadapi persoalannya. Dan aku tidak mau menulis banyak tentang hal ini, setidaknya aku cukup menjadi pendengar yang baik ketika sahabat-sahabatku yang laki-laki bercerita dengan problemanya.
Menjadi pendengar saja itu banyak untungnya. Aku bisa belajar tentang psikologi mereka selain dari tumbukan buku yang aku baca. Karena bagaimana pun lelaki tetap butuh wanita, tapi wanita dia bisa berdiri meski tanpa lelaki menemaninya. Lihatlah wanita janda yang justru lebih keras berjuang demi anak-anaknya. Kalian tahu kenapa? Karena cinta mereka tidak berdasar pada belaian atau lebar dada suaminya.
Menjadi wanita dan segala perjalanannya adalah kebanggaan. Bangga karena takdir memilihku menjadi WANITA. Karena aku wanita sampai pada masa kapan dan dimana saja, dengan atau tanpa laki-laki aku tetap wanita. Tidak ada yang bisa merubahnya.