Searching

Friday, 15 November 2013

Agya-Ayla, kebijakan amburadul?

Suara mesin menderu,
Gaungnya memenuhi setiap penjuru,
Ada BMW nampang disitu,
Ada Jaguar antri menunggu,
Honda Jazz tak mau tertinggal ikut nimbrung bersekutu,
Belum lagi inova maju,
Dan segudang nama lain yang mengular lugu,

Ratusan sepeda motor pun tak kalah,
diantara deretan bus dan angkutan umum yang mengantri.
Semrawut.
Seperti benang kusut.
Ruwet.
Tak terpikir mau dibikin dawet.

Ditengah kebobrokan Metropolitan yang tak terkendali,
Muncul si kembar Agya-Aylaa,
Mobil murah kata si menteri perindustrian.
Murah? Murah?
Murah untuk siapa?
Rakyat tidak butuh yang murah diatas tujuh puluh juta.
Yang nyatanya justru menambah kemacetan.

Sekian bulan berselang,
Program amburadul pun tidak nampak memberi faedah yang diharapkan.
“Ini untuk angkutan pedesaan,“ kata pak Presiden dalam sidang paripurna kabinetnya.
Pedesaan?
Ah, haruskah ku ucap kata “Sontoloyo?“
Jakarta itu desakah?
Surabaya desakah?
Medan desakah?
Ingin sekali rasanya,
ku baca pelajaran geografi tentang perbedaan desa dan kota sekali lagi.
Memastikan,
Bahwa aku salah belajar di jamannya.

Ini kebohongan publik paling besar?
Ataukah dongeng menutupi kebobrokan,
Mobil murah, mobil murah dan lagi katanya mobil murah untuk rakyat.
Rakyat yang mana?
Jika setiap pagi masih banyak yang berdesakan mengantri bus dan angkutan,
Mengantri kereta lokal yang bisingnya memecahkan genderang telinga.
Rakyat yang mana?
Bisa juga yang termasuk rakyat hanya orang-orang dengan penghasilan 30juta sebulan?
Mungkin rakyat inilah yang dianggarkan.

Minggir kalian,
Tidak perlu maju mengaku sebagai rakyat kecil didepan istana.
Rakyat kecil itu tidak pernah ada tepatnya.

Ini permainan bisnis?
Setelah kenyang dengan upeti haram ATPM Jepang,
Baru sekarang ngoceh soal angkutan pedesaan?
Langkah mundur halus biar tak kehilangan muka?
Atau,
Bisa jadi si Menteri menyalip Presiden di tikungan pedesaan?

Semrawut,
Berakhir Mawut, tak perlu dituntut.
Baunya akan tetap mulek seperti kentut.
Tut...tut...tut...tut...tut..!
Bunyi kereta butut,
Yang selayaknya di negara maju telah diganti dengan kereta listrik yang jitu.

Indonesia menjadi tempat sampah rongsokan besi dan baja,
Bangga dengan demikian?
Sifat konsumtif yang berlebihan.
Hai, tidakkah kalian tengok di luar sana.
Produsen gerobak besi justru tak laku di negaranya,
Warganya memilih jalan kaki dengan alasan kesehatan,
Memilih sepeda agar terhindar dari polusi,
Bukan lantas seperti masyarakat kita kebanyakan,
Begitu bangga pamer mobil barunya di jalan.
Terkena macet,
Ngomelnya tidak karuan.
Sudah sadarkah?
Macet itu karena siapa?
Macet bukan kesalahan penyedia jalan,
Tapi pengguna jalan yang tidak sedikit jua terpikir bagaimana mengurai kemacetan.

Bukan aneh memang,
Warga kita yang arif bijaksana
terkenal sebagai sasaran konsumen tingkat tinggi dari negara-negara maju untuk membuang rongsokannya.
Kemajuan teknologi sering kali ditebus dengan kemunduran akal mencernanya,
Indonesia bukti nyatakah?
Entah!