Searching

Sunday, 25 November 2012

Belajar Filosofi dari Sang Melati

~~SETEGUH MELATI~~

Melati adalah melati, melati yang tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkan. Yang tak memiliki warna lain dibalik warna putihnya juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaanknya baik panas, hujan, terik ataupun badai yang datang aku tetap putih. Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melativakan tetap menjadi melati selalu putih.

Melati.
Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya hingga menutup warna kelopaknya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu- debu itu agar ia tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri ia pun ikut. Namun melati tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya. .

Melati.
Pada hujan ia menangis agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes.

Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan
kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Pada hujan pula ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.

Melati.
Pada tangkai ia bersandar agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa
pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih.

Jika daun itu tak lagi hijau, menguning atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih? Maka, melati akan terus berhati-hati membawa diri. Ia akan tetap mawas diri dan menyadari kodratnya adalah melati. Dan haruslah tetap menjadi melati.

Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik karena masing-masing memahami tugas dan peranannya.

Melati tak pernah iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam.
Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan  seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi.

Terpaan sinar mentari, memantulkan
cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. Indah menghiasi memberi harum semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan.

Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya,
ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.

Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing
menghindari paruhnya agar tak segera pupus.
Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya. Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk menjalani setiap perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan
pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya

Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Melati.
Meski ia telah mati, alam akan tetap mengenang dirinya dan harum wanginya terus menerus tertinggal pada alam yang pernah disinggahinya. Melati yang teguh akan dirinya, melati yang menyadari peran putihnya, melati yang rela berbagi keharumannya, melati yang tak pernah tertarik merubah warna kelopaknya. Dari luar ia berwarna putih dan dari di dalam daging kelopaknya pun semakin putih.

Jadikanlah aku melatiMU, yang bisa menyadari peranku disekitarku, yang menyadari kodratku seperti halnya melati menyadari kodratnya. Melati yang tak berduri, melati yang melindungi diri dengan keteguhan dan keyakinannya kepada Pencipta Alam. Melati yang membalas setiap kesakitannya dengan kasih sayang perdamaian. Melati yang terus akan tetap menjadi melati.

"Aku adalah saya dan saya adalah aku, Aku yang tak seperti kamu dan tak akan menjadi kamu. Karena aku adalah aku, dan kamu adalah kamu namun aku dan kamu adalah kita"


Diamnya Pengetahuan yang Menyelamatkanmu

Kata-kata dapat melukai. Diam dapat menyembuhkan. Tahu kapan saat untuk bicara dan kapan saatnya diam adalah kearifan seperti yang diceritakan hikayat. Diam tak selalu emas adakalanya engkau diharuskan bicara, diam akan menjadi berlian bila kita mampu menempatkannya.

Ketidaktahuan dapat menghambat namun pengetahuan justru dapat membebaskan. Tahu kapan saatnya untuk tahu dan kapan saatnya untuk tak tahu adalah kearifan para nabi dan kaum bijak. Dan tidak seharusnya pula engkau selalu merasa ingin tahu, ada arifnya pula engkau belajar tidak mencari tahu. Ada saatnya dimana yang
tidak diwajibkan menjadi urusanmu engkau tidak boleh tahu, bahkan sedekar ingin tahu yaitu adalah urusan pribadi yang sangat intim dari sesamamu. Tak arif bila engkau berusaha mengoyak dan selalu ingin tahu.

Pada keharusannya engkau dianjurkan selalu ingin tahu ialah perihal ilmu yang membangun kehidupanmu. Dimana engkau perlu tahu dan tidak sekedar hanya tahu, tapi mengerti yang tidak sekedar ngerti tapi juga paham yang tidak sekonyong-konyongnya saja paham.

Tak terganggu oleh kata-kata, kediaman,
pengetahuan, atau ketidaktahuan, sebilah pedang tajam menebas tajam. Ini adalah kearifan seorang prajurit, selalu berjuang melawan perang. Perangmu bukan kepada sesamamu namun terlebih kepada angkara yang bersumber dari nafsumu. Nafsu menguasai, nafsu memiliki dan nafsu menjadi nomor satu.
Diantara diam dan tahu hendaklah engkau semaikan sebuah kearifan mengenai mampu. Mampu membawa pribadimu sendiri dimana engkau berada saat ini, Diam dan pengetahuanmu itu akan menyelamatkan dirimu dalam bersosialisasi.