Kembang Djiwangga
Oleh: Ayda Idaa
Seketika itu dia berjalan dengan gemulainya menapaki areal persawahan yang menguning dengan mesranya, rambutnya terurai melambai bagai ombak yang berkejaran dilautan selatan. Warna merah jambu gaunnya membuatnya tampak lebih anggun meski usianya baru 12 tahun. Gadis itu bernama Seruni, dari keluarga kecil di lereng gunung Willis. Bapaknya telah meninggal sejak dia masih kelas 4 sekolah dasar.
Ia duduk di pinggiran sawah sambil melamun dan mengingat-ingat sosok bapaknya. Bapak yang sangat dikaguminya. "Bapak, Runi kangen bapak," katanya lirih.
*******
Hari itu di ingatnya kembali bapaknya yang tadi pagi masih mengantarnya ke sekolah dengan sepeda ontelnya tampak begitu sehat dan bergembira. "Bapak, kulo kepengen sekolah kados mas Wardoyo yogane pak lurah. Angsal mboten nggih, Pak?" katanya lirih sambil dipegangnya pinggang pak Ilham melewati batasan persawahan dengan gaya bahasa jawanya yang luwes.
"Lihat gunung Willis itu, Nak! Tangan manusia tak akan mampu menggapainya. Begitu juga dengan keinginanmu, bapakmu ini hanya menyewa sawah untuk ditanami bagaimana bisa menyekolahkanmu seperti nak Wardoyo?" jawab si bapak dengan kerasnya.
Dalam hatinya gadis kecil itu bertanya, kalau bapakku punya sawah dan ternak banyak mungkin aku bisa sekolah seperti mas Wardoyo. Dan Seruni hanya mampu menatap awan-awan langit pagi itu seakan ingin mengadukan berontak jiwa kekanak-kanakannya.
Boleh dibilang pak Ilham dan istrinya Salimah hanyalah keluarga kecil, mereka hanya petani kecil dengan hasil bagi panen kepada pemilik sawahnya. Pekerjaan mereka hanya pergi kesawah di pagi hari kemudian pulang hingga lepas tengah hari, maka Seruni yang memiliki wajah ayu alami pun terkadang mesti ikut emaknya berjualan di warung agar kebutuhan mereka tetap terpenuhi. Hari itu sepulang sekolah Seruni melihat kerumunan orang-orang yang begitu banyak di rumahnya yang sederhana.
Perempuan-perempuan datang membawa ember berisi beras, sebagian lainnya sibuk menyiapkan tungku di dapur, dan sebagian tampak sibuk merangkai bunga. Para lelaki membaca ayat-ayat suci di sekitar seseorang yang tubuhnya membujur kaku, dilihatnya tubuh itu tertutup kain putih. Sesekali didengarnya orang-orang berkata, "Runi sing ikhlas, Runi yang ikhlas harus sabar". Dia pernah melihat kejadian yang sama di rumah tetangganya tapi waktu itu ketika mbah Marni meninggal dunia. Lalu di rumah ini ada dia, emak dan bapak. "Emak, emak emak dimana emak?" Dia berlari mengitari rumahnya yang sumpek untuk di huni puluhan orang. Dilihatnya emak berbaring pingsan, sementara yang lain sibuk menyadarkannya. Lalu perlahan didekatinya si tubuh yang tertutup kain kafan.
Bu Sayidah tetangganya memeluknya. Sambil menangisi dirinya, menangis sejadi-jadinya. "Bapak meninggal ya bulik?" Orang-orang tak mampu menjawab mereka hanya menangis iba, apalagi pak Ilham dikenal sebagai sosok yang jujur dan ramah. Begitu dilihatnya wajah bapaknya yang kaku pucat pasi kini disumpali kapas dilubang hidungnya. Dia tak lagi mendengar jeritan dan juga tak melihat air matanya. Bapak meninggal, gumamnya tak berkata. Seruni kehilangan bapaknya, kehilangan orang yang setiap hari mengajaknya ke surau, menimbakan air untuknya mandi. Mengantarnya sekolah dan menjemputnya di kala siang sepulang dari sawah. Bapak meninggal, gumamnya.
********
Hari-hari sepeninggalan almarhum pak Ilham Seruni membantu emaknya bekerja di warung, bahkan terkadang disambinya dengan belajar. Membaca buku-buku bekas yang diperolehnya dari para tetangga yang enggan lagi menampung tumpukan kertas usang. Tut Wuri Handayani, kata itu seakan memacu semangatnya untuk terus belajar. Ya, kadang-kadang dia pun harus rela bukunya kehujanan, dipangganglah buku-buku itu diatas tungku perapian agar tetap bisa terbaca. Menjelang magrib dia pergi ke surau, tempatnya belajar mengaji kepada ustad Ali Salman. Keadaannya yang benar-benar jauh dari sederhana terkadang mengharuskannya menambal mukena lusuh pembelian almarhum bapaknya. Dia gadis belia yang menginjak masa remaja, pada tubuhnya mulailah nampak perubahan-perubahan. Pada dadanya mulai tumbuh gunung-gunung seperti anakan gunung Willis, mulai menampakan kepadatan isinya. Suaranya mulai nampak begitu merdu ketika dibacanya ayat-ayat Al-Qur'an, rambutnya semakin panjang hingga melewati batas pundaknya. Namun kulitnya yang mulus nampak dekil penuh debu dan kurang terurus. Sempurnanya dia bisa dibilang mutiara dalam lumpur, yang tak pernah diperhatikan siapa yang melihatnya. Orang hanya mengenalnya sebagai anak yatim yang patut disantuni jikalau ada kelebihan rejeki.
Setahun dua tahun hingga enam tahun sepeninggalan bapaknya, emak masih begitu kuat dan menampakan ketegarannya. Namun akhir-akhir ini usia menggerotinya, tubuhnya semakin kurus dan tinggal tulang saja. Sesak napasnya sering kambuh, Salimah pun tak mampu lagi membuka warung sehingga untuk kehidupan sehari-hari ia terpaksa mengiris tanah untuk dijual. Belum lagi ia harus menebus obat, anak semata wayangnya pun sudah hampir lulus Madarasah Tsanawiyah. Salimah tahu putrinya adalah anak yang cerdas, sebenarnya ia ingin Seruni bisa sekolah ke kota namun apalah daya pereknomian lemah menghambat keinginannya.
Beberapa kali pak lurah meminta agar Seruni diijinkan tinggal dirumahnya, maklum pak Sastro Raharjo hanya memiliki dua orang anak laki-laki Wardoyo Sastro Raharjo dan adiknya Marsudi Sastro Raharjo. Istrinya selalu membujuk bu Salimah agar mau tinggal bersama mereka saja, namun sifat keras kepala Salimah kadang juga membuat geram Seruni. Jiwa remajanya kadang juga memberontak dan mementingkan egonya sendiri. Dia ingin sekolah lagi namun dia juga tak ingin menjadi anak durhaka dengan melawan emaknya. Maka keinginannya untuk mondok pun harus di buangnya jauh-jauh, "Andai emak mengerti keinginanku ya Allah. Namun hamba tak ingin menjadi anak durhaka yang Engkau kutuk karena perbuatannya. Hamba hanya ingin kesembuhan emak ya Allah, dan hamba ikhlas menepis keinginan ini asal emak sehat dan bisa bahagia ya Allah", meneteslah air matanya seusai mengucap syukur dan hamdalah. Tuhan adil dan seadil-adilNya, apa yang terjadi pada setiap kehidupan manusia adalah yang paling baik dari yang terbaik baginya. Begitulah juga antara Seruni dan keinginannya.
Hari itu tepatnya malam Rabu Legi, hujan turun begitu derasnya. Petir menyambar dimana-mana, angin topan meniup dengan begitu kencangnya. Penduduk lereng Willis mendepis mendekap anak masing-masing, para lelaki berjaga dengan siaganya. "Hujannya deras sekali mak, sepertinya ada badai," Seruni mendekap emaknya. "Iya nduk, Allah sedang menegur kita. Bacalah Al-Qur'an, Nduk. Biar tenang."
Seruni beranjak mengambil wudhlu dari air hujan yang jatuh dari genteng rumahnya. Di ambilnya lampu teplok sebagai penerang meski kadang harus di tutupnya dengan tangan agar tak dipadamkan oleh tiupan angin. Salimah ikut duduk di samping anaknya sambil sesekali membetulkan bacaan Seruni yang salah. "Runi, emak mau ke kamar mandi sebentar kamu lanjutkan dulu ya."
"Aku ikut mak, di luar licin sekali," katanya penuh kekhawatiran.
Malam menunjukan pukul 1.40 dini hari, hujan masih begitu deras dan air pun tak bisa dihindari membasahi lantai tanah rumah mereka. Dari balik dinding bambu dilihatnya kilat masih menyambar dengan ganasnya. Salimah terbangun, dilihatnya Seruni masih duduk membaca ayat suci. "Nduk wis wengi kok isih tadarus? Temani emak sholat. Sudah lama kita tidak sholat malam bersama."
Sambil mengambil wudhlu Salimah menahan rasa sesak di dadanya. Mereka menggelar tikar di ranjang kayu sebab lantai rumahnya telah basah. Genteng rumahnya banyak yg bocor sehingga kalaupun hujan turun mereka hanya bertahan di bilik kecil tempat tidurnya.
Keduanya sholat begitu khusyuknya, mengadukan kegalauan dan kegetirannya. Mereka tetap tabah dalam ikatan ibu dan anak. "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," Salimah mengucap salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian dibalikan badannya Seruni mencium tangan emaknya. Lalu keduanya menengadahkan tangan, meminta perlindungan kepada Yang Maha Esa. Seruni dan Salimah meneteskan airmata, mengingat akan almarhum pak Ilham yg biasanya menjadi imam dalam sholat. Lama sekali Seruni menunggu emaknya wiritan, bahkan hampir setengah jam lebih. Ada keanehan namun dia mencoba membuangnya, "Ah, mngkin emak hanya ingin berdialog lebih lama kepada Allah," pikirnya. Satu jam kemudian, emaknya belum juga selesai. Diberanikannya memanggil emaknya, "Mak, wiritane kok dangu kadingaren. Biasanipun amung setengah jam, jenengan sare njih Mak?" Katanya dalam logat jawa alus yang kental. Namun emak tak menjawab, tak menoleh tak ada suara. Didekatinya emak di sentuhnya, tiba-tiba tangannya dingin dan emak jatuh terguling tak bernapas lagi. Emak meninggal, gumamnya.
Malam itu Seruni menjerit, menangis kekeras mungkin namun tangisannya tak terdengar oleh para tetangga. Mereka sudah tidur terlelap, hanya suara deras hujan yang menemani tangisnya. Emak meninggal, gumamnya.
Pagi harinya para tetangga datang melayat, sebagian besar merasa iba. Mereka mencoba menenangkan Seruni, mencoba menghibur sebisanya. Mencoba tak membiarkan Seruni sendirian, Seruni hanya bisa menangis dan tak berkata sepatah kata. Emak meninggal, gumamnya. Dulu bapak, dan sekarang emak yang meninggal. Kini Seruni sebatang kara, keluarga emaknya jauh di Blitar dan keluarga bapaknya sudah hidup menyebar.
Rumahnya begitu sepi, tak ada lagi yg menyiapkan air minum atau sepiring nasi untuknya. Tak ada lagi asap yang mengepul dari dapurnya, tak ada lagi yg marah ketika dia berbuat salah. Sepi, begitu sepi. Kini Seruni tinggalah sendiri. Dia duduk di emperan rumahnya sambil dilihatnya puncak Willis yang menjulang. Di ambilah kertas-kertas bekas kardus kosong dan pensil. Di tulisnya bait-bait lirik gejola hati.
Kembang Djiwangga,
Dia mekar diantara galaunya jiwa,
Najwa... najwa...najwa..
Rahasianya tak ada yang mengira,
Menjulang bagai langit berhiaskan awan,
Aku hanya bisa menahan,
Gejolak...Keliak...
Jiwa penuh najwa,
Kembang Djiwangga,
Semerbaknya mengharumkan dunia,
Bapak yang menanamnya,
Emak memetikanya,
Kembang Djiwangga,
Dia mekar dengan tujuh warnanya,
**********
Setiap waktu kehidupan manusia berjalan, ibarat roda yang selalu terus berputar. Apa yang akan terjadi pada masa depan tidaklah bisa kita tebak adanya. Begitu pun dengan Seruni, semuanya kini telah berbeda. Semenjak kepergian orang tuanya Seruni tinggal bersama bibi dan pamannya di Blitar. Awal dari kedatangannya semua tampak menyenangkan dan baik-baik saja, sampai pada tiga bulan dia mendengar percakapan paman dan bibinya. Seruni mendengarnya sepulang mengantar jahitan-jahitan bibinya kepada para pelanggan.
"Kang, aku rasa Seruni cukup dewasa untuk bekerja. Kang tahu sendiri keluarga kita sudah susah dengan tiga anak kita, lalu ketambahan Seruni. Rumh kita sudah terlalu sempit kang," gerutu Rukmini kepada suaminya.
"Sudahlah Min, mau disuruh kerja apa Seruni mnurutku lebih baik biar saja Seruni lulus SMA dulu toh aku masih bisa bekerja lebih keras lagi," Jupri berusaha meyakinkan istrinya.
Namun Rukmini masih saja menggerutu dan nerocos ngalor-ngidul sambil menyelesaikan jahitan-jahitan dari pelanggannya, "Manjakan terus keponakanmu itu, sejak dia disini kang Jupri selalu lebih mementingkan anak yatim piatu itu. Anak pembawa sial". Serentak Jupri langsung menampar istrinya, padahal itu tak pernah dilakukannya sekalipun sebelumnya, "Min, menjaga dan merawat anak yatim piatu itu perintah Allah. Mereka itu amanat, kenapa kamu bicara seperti itu? Oleh opo anggonmu sholat lan ngaji, Min?" Muka Jupri merah menyala sambil meninggalkan ruang tengah tempat istrinya biasa menjahit. Matanya terlontar ke arah jendela teras, dilihatnya Seruni sedang mengisak bersendeku di kedua lututnya duduk lunglai di pinggiran tembok rumahnya. "Ya Allah, ampunilah istri hamba semoga Seruni tak mendengarnya," dalam hatinya Jupri menjerit. Ia berlalu pergi tak kuasa melihat keponakannya.
Semenjak kejadian itu Rukmini semakin menunjukkan kebenciannya, hampir setiap hari selalu saja ada yang salah dengan perbuatan Seruni. Seruni hampir tak pernah ada waktu untuk bermain dengan kawan-kawan sekolahnya.
"Runi, minggu ini ikut kita ke Balaikambang ya," pinta Sinta sahabatnya.
"Sin, aku ndak bisa. Aku harus membantu bik Rukmini kalau hari minggu," jawaban yang selalu sama setiap kali Sinta mengajaknya liburan.
"Kamu perlu penyegaran Run, biar otakmu enggak sedeng melulu," Sinta menimpali dengan cepatnya. Seruni hanya tertawa sambil menepuk pundak sahabatnya sejak dia kepindahannya ke Blitar.
Sesekali mereka bermain ke Makam bung Karno atau Penataran yang tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Hanya kepada Sinta seakan dia bisa tertawa walau terkadang sifat Sinta yang cenderung blak-blakan menjengkelkan juga.
"Assalamu'alaikum, paman belum plang ya bik, " sapa Seruni sambil mencium tangan bibinya.
"Wa'alaikumsalam, pamanmu tentu masih di Pabrik. Lain kali kalau pacaran jangan dibawa kerumah ini," jawab Rukmini degan ketusnya.
"Maksud bibi?" tanya Seruni dengan herannya.
"Tuh ada nak Wahyu yang sudah menunggu dari satu jam lalu".
Seruni langsung masuk ke ruang tamu sambil keheranan, "Wahyu, Wahyu yang mana?" pikirnya dalam.
"Sore Runi," salam wahyu begitu dia melihat Runi memasuki ruang tamu.
"Maaf membuat Wahyu lama menunggu. Ada perlu apa ya?" tanya Runi ingin tahu, masalahnya begitu aneh bagi Runi kenapa Wahyu Nugroho datang ke tempatnya. Seruni hanya mengernyitkan dahi saja.
"Wah, nyantai mbak. Jangan diberondong pertanyaan dulu. Aku hanya ingin memintamu menjadi anggota tim penulis Majalah Sekolah Kita selama ini kami mengamatimu yang sangat berpotensi. Tulisan-tulisanmu yang ringan dan enak dibaca terlebih mampu memberi motivasi. Bagaimana?" pinta Wahyu dengan begitu penuh harap.
"Maaf sebaiknya kamu meminta orang lain saja. Aku tak punya banyak waktu,"
Wahyu terus berusaha menjelaskan dan menjelaskan namun percuma saja jawaban Runi tetap saja sama. Tidak.
Seruni tetap saja menjadi gadis misterius yang selalu membuat Wahyu penasaran sejak mengenalnya. Dia ayu dan sederhana, dengan kerudungnya yang selalu menutup kepalanya. Tidak banyak bicara, ekspresinya selalu datar sehingga susah bagi orang lain membedakan dia sedang bahagia atau tidak. Usaha Wahyu untuk mendekati Seruni masih juga dilakukan, mulai dari mendekati kawan-kawanya, mendatangi tempat tinggalnya bahkan dia sering sekali menaruh buku-buku kegemaran Seruni dilaci bangkunya. Namun Seruni seperti tebing yang susah didaki, seperti segitiga bermuda di lautan yang susah diarungi. Bagi Wahyu dia yang begitu misterius justru mencuri perhatiannya. Hanya perhatiannya dan seakan dunia aneh bila tak memperhatikan keelokan parasnya.
Perhatian itu rupanya berkembang menjadi rindu, dan rindu. "Mungkinkah aku jatuh cinta padamu Seruni Widiastuti? Ah engkau dewi mantra yang menyimpan pesona," Wahyu menutup halaman agendanya.
*******
Tiga tahun Seruni tinggal bersama paman dan bibinya, baginya mereka kedua orang tuanya sekarang. Walaupun bi Rukmini terkadang sangat bengis tapi dia masih berbaik hati menampung dan memberinya makan, menyekolahkannya walau dengan ngos-ngosan dan susah payah. "Runi, kamu akan melanjutkan kuliah dimana?" pertanyaan Sinta dan kawan-kawannya bagai geledek yang menyambar ditengah terik panas matahari. "Betapa aku juga ingin bisa kuliah seperti kalian," batinnya tanpa suara.
Mungkin kuliah baginya hanya mimpi dan mungkin tak menjadi nyata, kuliah butuh biaya yang tak sedikit. Pintar saja tak cukup modal untuk bisa mencapainya, "Aku akan kerja Sin, kasihan paman dan bibi engga ada yang bantu nyari nafkah," jawabnya datar.
Dihari kelulusan itu semua sahabatnya sibuk berbicara tentang kuliah tentu bagi Seruni ia hanya bisa ikut mendengarkan tanpa bicara apa pun tentang impiannya.
Sejak hari itu Seruni tak pernah lagi terlihat bahkan ketika Sinta dan Wahyu mengunjungi rumah pamannya di Nglegok, "Lek Pri, apakah Seruni tidak pernah kirim kabar dimana dia sekarang? surat barang kali?" tanya Wahyu mendesak.
"Sejak kelulusan itu Runi hanya pamit ingin kerja ke Jakarta namun sampai sekarang tak ada kabarnya," tentu Jupri hanya mencari alasan agar tak didesak Sinta dan Wahyu, setiap kali berkirim surat Seruni selalu mengingatkan agar tak memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.
Wahyu nampak begitu kecewa, seakan tak percaya Seruni tak pernah memberi kabar.
"Matur Nuwun lek, kalau Seruni kirim surat tolong kabari saya," pinta Wahyu. "Setidaknya berikan nomer hp saya lek," tambah Sinta. Keduanya berlalu meninggalkan Jupri dan istrinya, "Kang kenapa tak kita katakan saja kalau Seruni di Jogja, kenapa harus membohongi mereka? Kang, Seruni butuh mereka untuk mengembalikan keyakinannya," Rukmini menatap keduanya semakin menjauh.
"Runi yang memintanya Min, dia lebih tahu apa yang dia lakukan dripada kita. Setidaknya biarkan dia jauh biar luka itu tak lagi menindasnya," Jupri kembali masuk ke rumah meninggalkan istrinya.
"Runi, bibik tahu kamu sedang bertahan sendirian nak. Bertahan demi kehidupanmu. Maafkan bibimu ini, Nak." Rukmini mendesah.
*********
Rintik hujan sore itu membasahi sepanjang wilayah Kotagede, derasnya mengalir hingga ke sudut penjuru Jogja termasuk kawasan Bantul, Imogiri dan Sleman. Tiba-tiba Jogja menjadi dingin, sedingin aliran darah di tubuhnya yang berbaring tak berdaya.
"Kita harus melakukan amputasi pak," kata seseorang berjas putih lengkap dengan stetoskop di lehernya. Disampingnya dua orang perempuan muda sedang sibuk menyiapkan beberapa suntikan dan mengecek denyut nadi pasiennya.
"Amputasi iku opo to kang?" tanya Rukmini kepada suaminya.
"Kakinya dipotong, Min," wajah perempuan itu langsung pucat.
"Nuwun sewu nggih pak dokter, Apa tidak ada cara lainnya?" kata perempuan separuh baya itu dengan khawatirnya.
Sang dokter hanya menggeleng menandakan tak ada jalan lainnya, mengingat osteosarkoma yang dialami gadis itu sudah melewati stadium 3.
Senyum sumringah Seruni mengalahkan segalanya, Ia seperti tak ada keluhan dengan sakit yang dideritanya. Setelah amputasi itu Seruni hidup di kursi roda, kaki kanannya telah dipotong dua tahun yang lalu. Hari harinya ia hidup menepi di pinggiran kota Jogja, ia hidup di sebuah yayasan milik dr. Ramlan yang mengoperasinya dulu. Sesekali ia melukis untuk hiburannya atau menulis melalui komputer hibahan Lestari anak pak dokter. Keluarga dr. Ramlan menyayangi Seruni bahkan sempat meminta Seruni tinggal di rumah mereka namun Seruni lebih memilih hidup di Kulon Progo ketimbang di kawasan Kotagede tempat dr. Ramlan.
Badai telah berlalu, sepertinya itu hanya sepintas meninggalkan dirinya. Setelah bapaknya lalu emaknya dan kakinya, Seruni aktif menulis sebuah cerpen untuk halaman salah satu majalah di kota Yogyakarta. Lumayan honornya bisa digunakan untuk menyambung hidupnya, selain menulis dan kadang juga melukis ia menghabiskan sisa umurnya dengan anak-anak yatim lainnya di yayasan yatim piatu Trimulyani, sebuah yayasan yang namanya itu diambil dr. Ramlan dari nama istrinya untuk menghormati dan mengenang almarhum istrinya.
********
"Hai hari ini bukankah ujian terakhirmu boy" suara Asep menggema di sepanjang sudut parkir Fakultas Kedokteran UGM. "Hemmm.... semoga di ampuni dosaku bertemu dirimu pagi ini," kelakar pemuda yang di panggil 'boy' itu.
"Huh, belagu ini anakan gunung Kawi." timpalnya tak mau kalah.
"Weits... tapi ganteng, daripada kamu. Ngakunya anak metropolitan tampang mirip suku aborigin," kelakarnya sambil berlari meninggalkan parkiran sepeda motornya. Asep berlari mengejarnya sambil terus berteriak.
"Eh bro, kebetulan nih. Dapat titipan dari pak dr. Ramlan, kelar ujian suruh nemui beliau ke rumahnya," triak Ismail pemuda asal Lampung.
"Eleh... eleh...., naon eta kang. Paling juga suruh nglamar si eneng. Geulis pisan atuh anak pak dosen teh. Cihui..., cakep," Asep nimbrung dengan bahasa khas Sunda.
"Wes..., cah mikire wadonan wae. Sep, tobat tuh skripsi gak kelar-kelar," tuding Reno sambil mendaratkan jitakan ringan di kepala Asep.
"Tumben Yu, rajin bener ikut ujian," tambah Reno.
"Iya, tahun ini aku harus bisa kelar. Mau gantiin ayah di klinik saja," kekehnya.
Suasana menegang manakala harus melewati ujian skripsi bersama dosen yang satu ini. Bukan cuma wajah dan logat bataknya yang menegangkan, namun suasana sidang skripsi pun lebih mirip sebagai terdakwa. Wahyu melewatinya dengan cukup menegangkan, walau akhirnya memang selesai dengan sedikit memaksa bertahan diruangan itu sendrian. Huh... Wajah seram pak Siregar masih terbayang.
"Fiuh.., semoga hasilnya menyenangkan," dihempaskanlah badannya di sandaran kursi perpustakaan sambil melihat dan membolak balik beberapa majalah sastra.
"Siapa yang baca tulisan kayak gini di fakultas ini? Nyasar kali ni orang," di lemparnya majalah itu ke meja sebelahnya. Diambil lagi dan dibolak-baliknya lagi, tiba-tiba matanya membelalak pada sebait tulisan puisi. "Sepertinya aku pernah membacanya" pikirnya mengingat-ingat.
Hari ini petang aku datang menghilang,
ditelan nada sumbang,
tanpa sebuah petikan gamelan,
Aku ilalang yang terbuang,
dari sekian barisan termakan walang,
Erang.., hilang!
Hilang..., tak terbayang.
tak terjangkau juga angan melayang.
Aku akan datang,
pada tempat saat kau bimbang,
aku akan datang,
pada saat ingatan tak lagi terbayang.
Aku hilang,
aku pulang pada sebuah jiwa yang ku sebut
Carang ilalang.
Aku datang, belumlah hilang di terjang gelombang.
Widia.S.
Sebait puisi itu tak asing baginya, apalagi ya nama pengarangnya itu. Ahh..., benarkah dia orangnya. Perasaannya berkecamuk tak karuan, pancarian demi pencariannya bahkan saat ia hampir tak ingin lagi berharap. Tiba-tiba Tuhan seperti menunjukan sesuatu, benarkah dia Seruni? Kekasih yang tak pernah memberi pasti, bahkan sekedar berkata iya atau pun tidak tentang perasaannya.
********
Sore itu Wahyu meluncur ke kawasan Kotagede dengan sepeda motor mirip pembalap, entah berapa kecepatannya. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah pencarian pemilik nama, Widia.S.
"Bapak sudah menunggumu di ruangannya mas," seorang perempuan lima puluhan tahun mempersilahkannya memasuki ruangan dr. Ramlan. Dia keluar dan lekas kembali dengan dua gelas teh di atas nampan.
"Aku ingin kamu menggantikanku hari ini, seorang temanku dekan UNS meninggal jadi aku minta kamu yang memimpin acara penyuluhan kepada masyarakat Kulon Progo besok hari. Bagaimana sanggup kan?" katanya tegas.
"I i.., iya pak sanggup"
"Jadi anak muda itu yang tegas yang punya sikap, jangan loyo begitu. Ganteng-ganteng kok ora prigel lan teges piye," logat jawanya keluar.
Sebenarnya Wahyu masih belum percaya diri, apalagi harus jadi pembicara dihadapan banyak warga. Rasanya tiba-tiba kiamat sudah mendekat.
Oh... malam itu konsentrasinya tetap tertuju pada pemilik nama Widia.S. Semntara ia harus menyiapkan diri menjalankan mandat sang guru besar.
********
Perjalanan ke Kulon Progo cukup lancar, dan tidak macet. Pagi tadi Wahyu sempat ke toko buku dan membeli beberapa buah buku karangan Widia.S. Bahkan ia sempat meminta alamat penulisnya kepada penerbit namun tak diberikan. Perseteruan kecil di telpon tadi pagi masih membekas ditelinga.
"Maaf pak, kami tidak memiliki data lengkap tentang tempat tinggal mbak Widia," jawab seorang publisher kepadanya. Kau selalu membuatku gila dengan keberadaanmu Runi. Pikirnya. Ia yakin puisi-puisi itu tulisan Seruni.
Penyuluhan berjalan lancar meski ini kali pertama ia menjadi pembicara. Wahyu sempat grogi ketika memberikan penyuluhan tadi, tapi akhirnya semua lancar terselesaikan. Bahkan ia mampu menjawab setiap pertanyaan warga dengan cepat dan mudah dipahami. Sepertinya dr. Ramlan memang tak salah menunjuknya sebagai pengganti. Sekitar pukul 8 malam Wahyu berniat meninggalkan Kulon Progo, namun tiba-tina ada yang memanggilnya.
"Wahyu Nugroho," Deg hatinya tiba tiba berhenti berpacu, Ia menoleh ternyata seorang Ibu memanggilnya, "dr. Wahyu Nugroho," diulangnya.
"Ah ibu, masih belum resmi kok," sanggahnya. Ia ingat sekarang, ibu itu yang tadi bertanya paling banyak. "Mampirlah ke tempat kami, kebetulan besok ada peresmian perpustakaan di yayasan kami, Nak"
"Inshaa Allah," Wahyu tak sampai hati menolaknya, akhirnya ia menginap di Yayasan sebuah Panti yatim piatu milik dr. Ramlan.
*******
Malam itu ia tak bisa tidur, ia gelisah entah apa yang membangunkan tidurnya. Sayup-sayup terdengar suara perempuan mengaji, inikan sudah hampir pagi pikirnya. Indah sekali suaranya.
Pagi itu suasana cukup ramai dan banyak orang, Wahyu masih menyimpan rasa penasaran kenapa sebagian besar perpustakaan itu terisi oleh karangan Widia.S. Adakah ia berhubungan dengan tempat ini tanyanya sendiri.
"Mbak Wid, hari ini kau cantik sekali," puji Lestari serius.
"Ah, dek Tari juga Cantik, sangat anggun dengan gamis birumu," pujinya tulus.
Lestari mendorong kursi rodanya pelan-pelan, menuju kerumunan banyak orang. Acara pembukaan peresmian Perpustakaan Mubarohkah pun disambut dengan baik oleh penghuni Yayasan Trimulyani apalagi di resmikan langsung oleh dr. Ramlan sendri.
"Semua ini berkat ide dan gagasan anak tertua saya, Widiastuti" katanya lantang.
Wahyu justru kehilangan konsentrasi dengan nama Widiastuti anak pertama dr. Ramlan. Lamunannya hanya pada seorang gadis desa pemilik nama Widiastuti. Sekilas dilihatnya dua orang perempuan muda yang sama cantiknya, oh Lestari Pramananingrum Kusumastuti. Dara cantik dari Fakultas Teknik Informatika anak pak dosen. Tapi perempuan yang satunya itu serasa pernah di kenalnya, ya pernah. Tapi dimana? Ah bukan dia itu anak pertama pak dosen, yang selalu dceritakan kepadanya beberapa hari terakhir. Batinnya menganalisa.
Sebagai ucapan syukur atas honorium beberapa bukunya, Widia menyumbangkan dan mendirikan perpustakaan Mubarokhah dan sekaligus menanganinya sendri.
"Selamat ya mbak Wid," kecup pipi mendarat dari Lestari.
"Semua karenamu, Dek," ia tersenyum.
Sesaat dunia menjadi milik keduanya.
Acara telah selesai tinggalah ia di ruangan itu sendrian, memandangi rak demi rak buku. "Bapak Emak, aku inginkan keberadaan kalian saat ini," airmatanya menetes.
Sekilas di lihatnya bayangan emak dan bapaknya tersenyum bahagia. Sejak amputasi itu ia telah diangkat anak oleh dr. Ramlan, walau dr. Ramlan selalu memintanya untuk sekolah lagi tapi ia lebih memilih hidup dengan melukis dan menulis di Yayasan ayah angkatnya.
Terdengar seseorang masuk, pintu ditutup pelan. Bahkan nyaris tanpa gencetan. Diputarnya kursi rodanya dan tepat di depan matanya berdiri seorang pemuda. Ia hanya membisu, menatap sekelilingnya yang tiba2 berubah jadi abu-abu semuanya. Ia menjerit memekik, namun tak bersuara tangan pemuda itu terlalu cepat menutup mulutnya. Ah, Widia tak mampu berteriak. Ia menyentuh dengan kasar dan beringas, bahkan menarik ujung jilbabnya. Kenapa tak ada orang yang lewat. Kemana orang-orang? Sekilas ia mencium aroma yang menyengat, tiba-tiba ia tak sadar semua serba gelap.
Setelah beberapa waktu lamanya ia siuman, dilihat di sekitarnya hanya sebuah ruang kamar persegi tanpa penghuni. Lama sekali baru ada seorang yang membukanya, "Apa maumu dari seorang yang cacat sepertiku," desahnya. Orang itu mendekatinya dan berkata, "Kau selalu penuh misterius nona."
"Kalian siapa?" katanya sambil terisak.
***********
Sejenak lamanya cuma terdengar hingar bingar dan teriakan tak bersuara. Kedua anak muda yang cukup matang usianya diam membisu, bahkan nyaris mirip pemakaman.
"Aku terlalu bodoh selama ini," pemuda itu memulai bersuara dengan menyalahkan dirinya sendiri. Ya seperti kebanyakan laki-laki yang terbiasa menyalahkan dirinya setiap kali mereka melakukan penyesalan. Di depan pemuda itu duduk seorang gadis di kursi roda dengan gaun gamis hijau dan kerudung warna senada lebih terang menutup kepalanya. Dia tampak lebih tenang dan penuh sorot kedewasaan menatap si pemuda.
Seruni masih mengingat kejadian seminggu lalu, saat Reno yang tiba-tiba menyekapnya di ruang perpustakaan Mubarokhah. Ya sebalnya masih tersisa, kenapa mesti dengan cara seperti itu Wahyu mengatur pertemuan yang telah lama terpisah. Perasaan dongkolnya masih menguasai jiwanya, tapi tentu bukan saja itu yang membuatnya dongkol dengan calon dokter yang menunggu hari wisuda saja. Seruni masih ingat saat ia memergoki Wahyu sedang berciuman dengan Risna gadis blesteran Tionghoa beberapa tahun lalu, sejak saat itu Seruni selalu menghindari Wahyu.
"Sudahlah Yu, tak ada yang perlu dipersalahkan. Semua sudah berlalu, kabarnya kau menikah dengan Risna?" Seruni mencoba bersikap wajar meski hatinya carut marut.
Cinta yang dikuburnya dalam-dalam kini kembali lagi ke permukaan.
Wahyu hanya menggeleng dan memandangnya dengan tajam. Tatapan mata mereka bertemu dan sungguh bias-bias cinta mereka masih ada. Seruni tersandar dan segera mengalihkan pandangan sambil mengucap istiqfar berulang kali. Ia menyadari bahwa kebersamaan mereka bisa saja menimbulkan fitnah dan buruk sangka. Seruni pun minta agar segera diantar pulang ke Kulon Progo.
****
Suasana RS Dr. Sardjito nampaknya tak sesibuk biasanya. Biasanya bnyak sekali mahasiswa fakultas kedokteran UGM bnyak sekali yang koas disana. Mungkin karena sebagian melakukan aktivitas ke daerah pelosok. RS Dr. Sardjito memang mnjadi partner resmi UGM untuk fakultas kedokteran, ya letaknya yang tepat di sebelah barat UGM fakultas kedokteran dan sebelah selatan fakultas teknik UGM. Sebuah rumah sakit yang berada di kota salak pondoh Sleman. Disanalah seorang lelaki separoh baya lebih bekerja sekaligus sebagai dokter selain aktivitasnya sebagai dosen UGM.
"dr. Ramlan ada waktu sebentar pak?" panggil pemuda berusia dua puluh enam tahunan itu sambil sedikit berlari menghampirinya.
"Tentu, hanya sebentar. Sebelum saya masuk ruang ICU," jawabnya tegas.
"Nanti malam saya mau ke rumah pak."
"Baiklah, saya tunggu," dr. Ramlan pun segera meninggalkannya menuju ruang ICU.
Langit sepertinya bersahabat malam ini, sangat cerah. Jalan demi jalan dilaluinya dibelakang kemudi motor hijaunya yang larinya cukup cepat. Dari tempat budhenya di Godean ia melajukan motornya melewati jalan Kenari hingga Kusumanegara bahkan hingga sampai ke jalan Janti. Entahlah. Wahyu hanya ingin menghilangkan angin penatnya sejenak sambil melewati jalanan Jogja, sebelum ia menuju sebuah kawasan di Kotagede.
Kotagede merupakan sebuah kota sejarah yg di kenal dengan kerajinan peraknya. Dulu merupakan ibukota kerjaan Mataram Islam. Disana juga terdapat sebuah kebun Raya dan Kebun binatang Gembiraloka. Atau sering kali orang akan menyebut sebuah pasar hewan yang di kenal dengan nama Pasar Legi. Ah! Tentu tujuan Wahyu bukan ke Gembiraloka atau Pasar Legi. Motornya memasuki sebuah rumah yg cukup megah yang khas dengan bangunan jawa. Rumah Joglo di kawasan jalan Nyi Pembayun yang tak begitu jauh dari SMAN 5 Yogyakarta.
"Jadi apa maksud kedatanganmu kemari anak muda?" tanya dr. Ramlan dengan ciri suara khas kebapakannya.
"Saya ingin melamar anak angkat bapak, Widiastuti."
"Apa kamu sungguh-sungguh mencintainya?"
"Iya pak. Sangat mencintainya bahkan sebelum saya memutuskan menolak perjodohan dengan dek Lestari," Wahyu mulai menceritakan secara detail siapa Seruni Widiastuti. Tak urung si bapak itu pun manggut-manggut dan terharu dibuatnya.
●●●●
"Nduk cah ayu, ayahmu ini cuma ndak mau awakmu sendrian terus," Ramlan mendekati Seruni dan mengelus pundaknya. Ah sungguh seperti bapak jika masih hidup. Pikirnya.
"Kamu mencintainya?"
"Tapi romo, dek Lestari juga."
"Sudahlah mbak, jika mbak Wid bahagia aku akan lebih bahagia juga," suara Lestari mengagetkan keduanya. Entah darimana datangnya tiba-tiba ia muncul di antara mereka. Sesaat ketiganya hanyut dalam suasanan haru. "Emak. Bapak" jeritan hatinya terpendam.
Siang itu kediaman pak Ramlan begitu sibuk dengan persiapan acara Midodareni. Disaat itulah Seruni ditanyakan kesanggupannya dan kesediaannya menjadi istri dr. Wahyu Nugroho. Semua hikmat semua hening mendengar jawaban dari Seruni. Menantinya dengan dag dig dug mengingat jawaban itu akan menentukan jalannya kelak. "Injih romo, kulo sampun siap. Sampun ridho menawinipun dados garwanipun kangmas Wahyu Nugroho," jawabnya tegas. Semua ketegangan pun mereda.
"Mbak, besok siang engkau akan menjadi istri sah mas Wahyu. Aku bahagia, akhirnya kau menemukan kembali cintamu," bisik Lestari mendekat lekat2 ke tlinga Seruni. Sempat membuatnya geli dengan Lestari. Soal perbincangannya yang kadang membuatnya menahan tawa.
Seruni mengenakan sebuah kebaya jawa khas Jogja, dengan paduan warna putih. Dipasangkan dengan sebuah jarit berbatik Sidomukti, anggun, cantik dan elegan dengan kerudung putihnya. Seikat melati di tangannya, melati yang diberikan oleh bibi Rukmini. Sangat harum.
(Tunggu aku beberapa jam lagi sayang. Kau akan jadi milikku. Selamanya)
Seruni membaca kembali pesan singkat dari ponselnya tadi pagi. Rombongan keluarga Pak Ramlan sebagai mempelai wanita siap menuju sebuah Masjid Agung di kotagede. Begitu juga keluarga besar Wahyu yang datang membawa rombongan dari Blitar tak mau kalah.
Di halaman itu khas dengan tanaman sawo keciknya dan bangunan dengan batu2 relief masih terus dijaga keindahannya. Terdapat sebuah bedug berukuran besar yg usianya setua bangunan masjid itu. Masjid Agung Kotagede.
"Saya terima nikahnya Seruni Widiastuti binti Almarhum Ilham Khudori dengan mas kawin Surat Ar Rahman dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," suara Wahyu terdengar nyaring tegas dan jelas. Semua orang diruang Masjid itu mngucap syukur dan membaca Al fatihah. Semua orang hadir di hari itu membuat Seruni sangat bahagia. Bahagia di sepanjang hidupnya.
Detik berjalan, jam berlalu dan hari demi hari berganti. Sudah hampir setahun pernikahan mereka dan semuanya baik baik saja. Wahyu mencintainya dengan begitu besar, selalu setia mendorong kursi rodanya kemana pun dia pergi dan bertambah sayang sejak kehamilannya tiga bulan ini.
"Semoga dia sepertimu mas, seperti ayahnya. Menjadi lelaki yang tegas dan bijaksana,"
"Aku ingin dia selembut dan sekuat dirimu dan aqidah-aqidahmu, Dek," Wahyu mengelus perut istrinya.
Sejak menikah Seruni dan Wahyu memilih tinggal di Kaliurang. Tak jauh dari pusat Jogja, ya mungkin hanya sekitar satu jam saja. Sedang untuk ke tempat kerjanya Wahyu memerlukan jangka setengah jam lebih cepat. Kabarnya ia pun telah membuka sebuah klinik di daerah Cangkringan bersama ketiga sahabatnya.
Siang itu mereka menikmati liburan di Tlaga Putri. Tempatnya sejuk dan dingin. Sangat cocok untuk melepaskan stres dari jeratan pekerjaan rutin. Ya memang letaknya di bawah lereng Merapi menambah sebuah keelokan tersendiri. "Semoga dia seorang laki-laki ya, Dek. Jadi apabila aku tak menemanimu dia akan menjagamu," sebuah kecupan mendarat di kening istrinya. Di elusnya perut Seruni dan di sandarkannya kepala itu di atas gundukan hidup di dalam perut Seruni.
●●●●
"Nuwun sewu buk, ada telepon," mbok Jaenap menyerahkan telp kepada Seruni yang sedari tadi sibuk dengan laptop dan ketikannya. Padahal sudah sering kali di ingatkan jaga kesehatan bayinya. Sepertinya dia terbiasa bekerja keras bahkan hingga kandungannya sembilan bulan. Tinggal menunggu hari.
"APA?? TAK MUNGKIN," Suara Seruni mengeras dan tiba-tiba ada yang menggocang tubuhnya. Badanya lemas dan lunglai seketika saat menerima kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan dan tak bisa di selamatkan.
Suara tahlil berkumandang dimana2, disudut sudut ruangan rumahnya yg secepat kilat dipenuhi rombongan pelayat.
"Ya Allah, ketiga kalinya Engkau mengambil orang yang hamba cintai dari sisi hamba. Pertama bapak, emak dan sekarang suamiku. Bahkan ia belum sempat mengadzani janin di perutku. Tak sempat menyentuh dan melihat buah cinta ini," Seruni masih bertafakur dalam isak tangisnya. Dihapusnya segera, dan disiapkan dadanya menahan isak airmata. Ia tahu bhwa suaminya akan lebih sulit jika ia tak melepasnya dengan ikhlas. Dengan ridho.
"Makamkan segera pak, saya sudah ikhlas," katanya memberi isyarat kepada para pelayat.
********
Seruni mngerang, menahan sakit hampir separo nafasnya. Dengan segala kekuatan ia kerahkan mendorong makhluk kecil itu keluar. Suara tangisnya begitu keras, dan betapa senangnya ketika bayi itu lahir tanpa cacat. Bayi laki-laki yang sehat, pak Ramlan langsung mengadzani bayi itu sebagai wakil almarhum ayahnya. Fathir Zakaria Nugroho, sebuah nama peninggalan Wahyu Nugroho. Ayahnya.
Sore itu Seruni diantar Lestari dan Reno menuju pemakaman Wahyu, membawa Fathir ikut serta. Tepat di hari ke 40 kematian ayah sang jabang bayi.
"Tenanglah mas, ada malaikat kecilmu yang menjagaku disini. Tenanglah. Aku akan tetap hidup membesarkannya, menjadi seorang anak yang bijak seperti ayahnya. Anak yang membanggakan orang tuanya," tetesan airmatanya mengalir saat menaburkan bunga ke atas tanah yang masih merah itu. Di ambilnya Fathir dan dipeluknya erat, diciuminya. Bayi yang masih merah tanpa satu dosa pun dan tanah kuburan yang merah, membuatnya menahan airmata di tenggorokannya. Diciuminya lagi bayi itu dengan penuh cintanya.
Pandangannya menegak, airmatanya di keringkan dengan tisu dari Lestari. Sementara Reno hanya bisa terdiam melihat makam sahabatnya, malu rasanya bila seorang dokter spesialis spertinya harus ikut menangis juga. Bukan tak berhati, tapi ia lebih tahu tak seharusnya menangis.
Dari jauh, jauh didepan pintu pagar pemakaman. Ia meminta Lestari menghentikan kursi rodanya. Membaliknya, dan menengok ke arah pemakaman. Disana berdiri seorang laki2 dengan baju koko putih dan setelannya, melambai penuh bahagia. Tersungging senyum yang tiada pernah dilihatnya. Disampingnya ada perempuan tua dengan kerudungnya. Yang juga tersenyum ke arahnya. "Bapak, Emak," gumamnya lirih.
Tiba-tiba tangannya terasa ada yang menyentuh, hangat sekali. Di liriknya disampingnya. Berdiri seorang laki-laki matang dengan baju yang bersih putih dan aroma melati, melihatnya sekilas. Dan tersenyum hangat padanya. Mengecup dahinya dan juga bayinya. "Mas" desahnya.
"Kalian akan tetap hidup dihatiku. Selamanya." Seruni melanjutkan katanya dan memandang pemandangan hari itu dengan senyum dan semangat lebih besar. Semangat untuk Fathir, Anaknya. Hidup belum berhenti, ia terus berjalan. Manusia hanya menunggu soal giliran.
"Astaghfirullahaladzim," diucapkannya berkali-kali kalimat tersebut. Hingga membangunkan sosok disebelahnya. Seruni terisak dan menangis, memeluk dengan erat seseorang disampingnya itu.
"Mas, engkau tak akan pergi kan?"
"Sudahlah, hanya mimpi." Wahyu memeluk erat istrinya sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Menunggu kelahiran, kelahiran si jabang bayi buah cinta mereka.