Seperti kisah para pejalan, ia selalu yakin bahwa Dia-nya Nu Agung memberikan sebuah jalan yang terbaik. Dan Dia sudah barang tentu lebih paham jalan mana yang memang paling baik untuk kita lalui. Tetapi sebagai pejalan ia harus juga mampu meyakinkan diri bahwa jalan ini adalah jalan yang terbaik. Sebab tanpa ia mau turut serta dalam keyakinan itu jalan itu tidaklah akan menjadi sebuah jalan yang baik.
DIA nu Esa telah menyediakan jalurnya namun si pejalanlah yang harus datang dan melewatinya sendiri. Ia tidak bisa hanya sekedar mendengar dan mendengar dari cerita pejalan lainnya. Sebab jalanan tidak akan menghampiri para pejalan, jalanan hanya siap dilalui oleh para pejalan yang memang beniat memilihnya sebagai jalan.
Maka dalam perjalanannya si pejalan itu memutuskan melewati jalanan dengan jalan kaki, sepeda “onthel“, motor, gerobak, becak, mobil, truk, bus, ataupun kereta. Maka jaraknya tidak sekalipun berubah, tidak juga medannya, tetapi hanya cara dari masing-masing pejalan yang tak sama. Cara itulah yang pada akhirnya membawa si pejalan dalam sebuah pengalaman yang tak pernah sama diantara banyaknya pejalan.
Pada ujung jalan tentu ada sebuah tujuan yang sama. Namun, dalam perjalanannya mungkin juga ada yang jatuh, ada yang berbelok, ada yang capek, ada yang kembali pulang, ada yang menyerah dan ada yang tetap terus berjalan. Maka, hanya si pejalan tertentulah yang akan tahu apa yang sebenarnya berada diujung jalan. Karena dengan bekal yakin dan ketekadannya meski jalan kaki ia tetap melangkah. Dalam keyakinannya bahwa memang ini adalah jalan terbaik baginya. Sehingga pada akhir perjalanannya ia tak akan mampu bercerita sebab takjub oleh pencapaian diujung jalan, sebab si pejalan ini yakin bahwa setiap pengalaman “perjalanan“ tidak selalu bisa dituturkan secara lisan.
No comments:
Post a Comment