Searching

Sunday, 19 May 2013

Bagaimana belajar menulis dan menuangkan ide?

Pernahkah kehilangan ide saat ingin memulai menulis? Atau justru mengalami kebingungan apa yang ingin ditulis saking banyaknya ide bermunculan. Saya sendiri pun sering mengalami hal demikian. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita tuliskan, mulai dari hal-hal sederhana dulu tidak perlu yang terlalu berat. Ya misalnya seperti besi, baja, beton, tronton itu kan termasuk hal berat. Hehe.. Bercanda ya.

Hal berat atau tulisan-tulisan berbobot tentu tidak bisa kita tuliskan dengan asal "njeplak". Perlu adanya klarifikasi sana sini karena memang sifatnya adalah memberitahukan kepada kalayak ramai secara ilmiah/sistematis/informatif mengenai sebuah hal. Bahkan mungkin diperlukan sebuah riset dan penelitian lebih mendalam, karena informasi yang salah akan sangat berakibat fatal. Ingat apa yang kita tulis itu semua menuntut adanya pertanggumgjawaban. Kalau kita tidak bisa menuliskan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan diri sendiri sebaiknya kita mengurungkan niatan untuk menulisnya. Karena hal ini menyangkut tentang perubahan pola pikir setelah membaca apa yang kita tuliskan tersebut alam jangka panjang.

Kembali pada soal tentang ide dalam menulis. Saya selaku penulis abal-abal menuju proses menjadi calon penulis beneran (hehe..entah benerannya kapan) mencoba berbagi sedikit mengenai tips-tips agar kita tidak kehilangan ide. Ide itu seperti jelangkung, datang tak diundang pergi tak diantar. Jadi harus cepat-cepat diperdayakan sebelum terjadi kerusakan. Sebelum ide-ide itu sendiri terkontaminasi oleh virus-virus yang merusak pikiran kita dalam waktu yang singkat.

Apakah perlu menulis yang bagus? Iya donk, perlu. Kalau tidak punya target bagus kita juga tidak akan mau belajar. Tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Loh koq mbulet? Begini yang saya maksudkan. Pada dasarnya memang menulis itu harus bagus. Bagus dalam artinya adalah memberi manfaat. Namun bukan bagus yang semata-mata harus memiliki nilai X atau bernilai jual, tepat EYDnya dan aturan-aturan menulis yang seakan njlimet dimengerti tetapi yang perlu diutamakan adalah manfaatnya kepada pembaca. Apakah tulisan itu sifatnya memberi pandangan, memberi informasi, bernilai laporan atau sekedar berbagi tawa dan bahagia. Contoh sederhananya jika anda seorang kompasianer. Kompasianer, belajar menulis atau mengejar HL? Rasanya tidak layak saya yang awam soal tulis menulis ini bertanya demikian. Namun, sepintas saya baca (yang maaf personilnya tidak dapat saya sebutkan) pernah menuliskan "gak HL gak apa-apa" tapi selanjutnya ditulis kalimat kekecewaan soal tulisannya yang tidak mampir jadi HL. Bahkan juga pernah saya baca bahwa ada sahabat kompasiner yang merasa tidak percaya diri untuk menulis lagi di kompasiana hanya karena keterbatasannya dan tulisannya (yang menurutnya) tidak sebagus lainnya. Loh, memangnya apa yang salah? Jadi dalam hal menulis (kompasiana sebagai contohnya) jangan hanya terpaku kepada keinginan untuk mengejar HL.

Menurut saya, seseorang yang menyadari bahwa tulisannya tidak bagus itu adalah orang yang pandai mengoreksi diri. Jadi, tidak ada alasan berhenti menulis. Saya yakin para senior kita dalam menulis tidak akan pelit kalau ditanya dan dimintai saran mengenai belajar menulis. Bukan serta merta harus langsung bagus. Kalau kita menuntut yang demikian bagaimana kita akan belajar? Tulisan yang didalamnya hanya terdapat unsur harus, dalam artian harus bagus, harus dibaca banyak orang, harus diterima, harus dan harus sejenisnya lagi justru akan memangkas kreativitas dan keterlepasan ide dan imajinasi dalam menulis.

Yach... back to the point. Bagaimana kita harus belajar menulis dan menuangkan ide?
Kemampuan menulis akan semakin terasah jika kita terus belajar dan belajar menulis setiap harinya. Membaca ulang apa yang telah kita tulis, dengan begitu kita akan semakin  paham dimana saja letak kekurangan kita dalam hal tulis menulis. Apakah pada kemampuan kita menyusun kalimat, ejaan atau pengungkapan ide itu sendiri. Tulis apa saja yang ingin kita tuliskan secara lepas, biarkan otak kanan yang berkreatifitas saat menulis. Lalu, setelah semua ide yang kita miliki telah dikeluarkan barulah gunakan otak kiri untuk mengoreksinya. Baca lagi sebelum tulisan siap dipublisasikan untuk kalayak ramai.

Nah, bagaimana caranya agar kita memiliki ide-ide yang fresh dan tidak kehilangan pemikiran brilian yang munculnya kadang tiba-tiba. Dan tiba-tiba hilang pula isinya. Berikut ada beberapa kebiasaan dari saya yang bisa dijadikan bacaan dan barang kali juga bisa menjadi icon pertimbangan bagaimana agar kita tidak kehilangan ide.

1. Tingkatkan kepekaan diri kita terhadap lingkungan sosial dan segala peristiwa yang terjadi.
Dunia sekitar kita sangat berpotensi untuk memberikan ide  yang luar biasa pada tulisan kita. Peristiwa-peristiwa lucu, unik, mencekam, sedih dan sebagainya. Bisa yang berhubungan dengan sosialita, politik, remaja, budaya, sejarah ataupun filsafat. Jika kita membiasakan pikiran kita agar lebih peka kita tidak akan pernah kehabisan ide untuk menulis.

2.  Ambil hikmah dan kemudian refleksikan semua peristiwa di sekitar kita.
Pada setiap peristiwa tidak kecuali itu sebuah musibah sekalipun pasti tersimpan sebuah hikmah didalamnya. Namun, tidak semua orang mau merefleksikannya dalam sebuah tulisan. Ambil kesempatan itu, sekaligus mengolah daya peka kita terhadap kehidupan di sekitar kita. Kita bisa merefleksikannya dalam bentuk esai, puisi, laporan, cerpen, novel, naskah pidato ataupu bahan sebuah training.

3. Beri otak kita dengan asupan suplemen yang selalu diperbaharui.
Suplemen yang saya maksudkan bukanlah jenis vitamin yang banyak diiklankan di tv. Vitamin atau suplemen otak yang saya tekankan disini adalah mengenai wawasan dan pengetahuan terlebih tentang kemauan kita untuk mau belajar. Perbanyak membaca dan kemudian tulisakan apa yang kita dapat dari sebuah bacaan itu sendiri.  Bisa melalui buku, browsing internet, majalah, koran, ataupun ebooks. Sering-sering berdiskusi dengan orang lain juga merupakan sebuah suplemen tersendiri. Menonton tv dan mendengarkan radio pun dapat menjadi suplemen untuk otak kita asal kita pandai memilih dan memilah mana saja acara yang mendidik dan tidak. BEDAKAN. Jangan hanya suka mantengin infotaiment ngegossipin artist atau acara lain yang kurang memberikan bahan pendidikan. Ingat, apa yang kita baca dan kita lihat sekaligus apa yang kita dengar secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi pola pikiran alam bawah sadar kita.

4. Jangan membuang ide yang tiba -tiba muncul.
Catatalah ide anda dalam sebuah buku catatan kecil dan biasakan untuk membawanya setiap ada kesempatan. Karena  kita tidak tahu kapan sebuah ide itu akan muncul nantinya. Jika dirasa kurang lengkap carilah informasi mengenai hal tersebut dan kita bisa menuliskannya jika kita telah memiliki waktu yang luang. Tetapi yang terpenting adalah kita tidak kehilangan ide itu sendiri.

5. Ketika kita bermasalah mulailah untuk berpikir secara kreatif.
Tenangkan pikiran kita dari agar tidak berpikir secara tergesa-gesa dan menganggap semua persoalan kita itu terlalu rumit. Pikiran yang tenang akan jauh lebih mendatangkan ide-ide yang positif. Memandang permasalahan kita dari sebuah sisi yang berbeda akan jauh membuat kita lebih dewasa dalam bersikap. Dengan menulis secara aktif, dapat menjadi obat (terapi) ketika kita dihadapkan dalam sebuah persoalan.

6. Ingat, bahwa tidak ada sebuah ide yang salah.
Yang perlu kita tanamkan pada pikiran kita hanyalah bagiamana kita dapat menempatkan ide itu secara tepat. Bangun sebuah konsep berani mengungkapnya menjadi sebuah tulisan. Jangan pernah merasa takut ataupun  minder dengan ide yang kita miliki, olah terus agar ide itu nampak berbeda dan memiliki ciri khas dari sebuah ide-ide yang barang kali mirip dengan ide kita saat ini. Tunjukan sisi kelebihan kita didalamnya.

7. Otak pun oerlu adanya refreshing dan penyegaran.
Jangan biarkan otak kita terlalu lelah. Jika dirasakan sudah cukup capek itu tandanya kita perlu untuk beristirahat dan berlibur dari kegiatan menulis untuk sejenak. Kita bisa mengisinya dengan kegiatan yang kita sukai, misalnya pergi hiking itu yang biasa saya kerjakan. Atau ke pantai, mengunjumgi saudara dan teman barang kali. Bahkan tidurpun akan sangat membantu kita keluar dari kepenatan dan rasa lelah memikirkan ide itu sendiri.

8. Teruslah belajar menulis dan menulis.
Apapun itu yang kita kerjakan secara continue akan menghasilkan sesuatu yang baik, dalam ini kemampuan mengasah otak dan menulis. Dengan terus berkomitmen untuk aktif membuat tulisan minimal sekali sebulan, kita tidak akan kehilangan kemampuan kita untuk menulis.

So, ini adalah sedikit hal yang dapat saya tuliskan hari ini. Kita tidak perlu menuntut diri sendiri agar tulisan kita segera mendapat pembaca yang banyak. Jika tujuannya demikian sampai kapan pun tulisan kita hanyalah kosong karena kita sendiri tidak mendapat apun kecuali hanya ambisi untuk memperoleh pembaca. Tetapi kita melupakan esensi dalam menulis itu sendiri yaitu memberikan sebuah manfaat sekecil apapun untuk pembaca dan kita sendiri. Seorang guru besar tempat saya belajar pernah berkata kepada saya, "Jika kuliahmu hanya untuk mengejar ujian dan IPK maka yang kamu dapatkan hanyalah ijasah dan gelar. Selebihnya adalah kosong." Maka, demikian juga dengan menulis kita tidak akan mendapatkan nilai apapun didalamnya jika kita hanya mengejar nilai bagus, banyak pembaca dan bernilai jual. Just keep writting and writting then you will get more not only about sentence and words. You can do that.


Causeway Bay, 19 May 2013 03:25pm
Ay

Saturday, 18 May 2013

Manusia lebih gampang Menjugde? Penilaiankah atau observasi?

Manusia, antara menilai dan penilaian. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik sikap “penghakiman“?

Kecenderungan manusia untuk “menghakimi” dalam arti melabeli, mengkritik, menghukum, dan sebagainya dalam memberikan sebuah penilaiannya. Penilaian kita terhadap orang lain  memainkan peran penting dalam mendorong pemisahan diantara kita. Pemisahan yang dimaksud adalah bagiamana kadar reaksi otak kita mengelompokan orang tersebut dalam lingkaran kita.

Untuk alasan apa pun, pikiran kita agaknya memiliki apa yang tampaknya menjadi kecenderungan alami untuk memberikan penilaian pada orang, tempat, situasi, dll. Meskipun tidak ada seorang pun yang ingin dianggap menghakimi, sepertinya deskripsi ini membawa konotasi yang sangat negatif, faktanya adalah bahwa semua orang pernah menghakimi. Termasuk saya dan anda, bukan? Pada dasarnya adalah mustahil untuk sepenuhnya menghindari melakukan penilaian, karena kenyataannya hampir setiap pikiran kita memiliki beberapa penilaian yang terkait.

Kita menilai bahwa seporsi makanan itu enak dan tidak, menilai bahwa si A itu baik atau tidak, bahwa bunga Lili lebih menarik dari Kamboja. Semua ini adalah bentuk penilaian kita, penilaian terhadap materi ataupun bukan.

Namun, sangat penting di sini untuk membuat perbedaan antara istilah penilaian dan observasi. Penilaian melibatkan pendapat kita bersama dengan emosi, sedangkan observasi hanya melibatkan komentar pada apa yang kita perhatikan.

Dalam setiap peristiwa, langkah pertama dalam mengenali kecenderungan kita untuk menilai adalah dengan mengakui kepada diri sendiri bahwa kita sedang melakukan penilaian. Hal ini tidak berarti dengan cara apapun bahwa kita adalah orang yang menghakimi, melainkan hanya berarti bahwa anda mengakui kecenderungan perilaku ini bukan menyangkal.

Hanya ketika kita sadar untuk menerima bahwa kita melakukan penghakiman secara teratur, kita dapat mulai untuk menjadi lebih sadar ketika kita melakukannya. Hal ini juga sangat penting untuk memahami tentang apa arti menilai orang lain.

Secara khusus, alasan kita menilai orang lain adalah bahwa kita melihat mereka, bukan sebagai mereka, tetapi seperti kita. Dengan kata lain, kita memfilter mereka melalui sistem keyakinan kita. Oleh karena itu, penilaian kita tidak benar-benar mengatakan apa-apa tentang orang lain; mereka hanya menggambarkan apa persepsi kita. Setiap kali seseorang berbuat tidak ‘sesuai’ dengan standar pribadi kita, kita secara otomatis memberi semacam penilaian pada mereka.

Pada intinya ketika kita dengan sangat gampang menjugde seseorang itu keliru atau katakanlah salah dan sesat hal ini semata-mata pendapat kita bersumber dari “keakuan saja“. Lalu mengapa kita tidak mencoba lebih open mind dan memandang sesuatunya dari sisi yang berbeda (diluar standarisasi pikiran kita).
Seperti halnya seseorang yang berlagak begitu tahu mengenai fisika kuantum tetapi hanya memberikan penjelasan yang sifatnya sepotong-potong tanpa sebuah observasi yang bergerak diluar lingkarannya. Maka yang demikian hanya akan terasa “nampak sebagai ahli“ saja, bukan?

Pada dasarnya seorang yang benar-benar ahli dan paham tidak akan memberikan penilaian tanpa sebuah penjelasan jika memang si A yang kita nilai itu memiliki kekeliruan.

Perempuan dan Materialisme

“Cewek Matre“ tentu kata ini sangat dekat di telinga kita semua, dan seeing kali dihindari oleh para laki-laki untuk mencari pendamping hidupnya. Sifat alamiah manusia, terutama adalah perempuan yaitu materialis. Maka, yang mengatakan bahwa tidak semua perempuan itu matre adalah golongan muna. Yang membedakan hanyalah tingkat materialismenya, apakah perempuan itu mampu mengendalikannya atau justru mendewakan paham materialisme didalam dihidupnya. Yang sangat berbahaya jika perempuan sudah menjadikan materialisme sebagai patokan utama segala unsur dalam kehidupannya.

Materialisme sendiri merupakan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Artinya segalanya diukur dari uang, harta dan sejenisnya. Materialisme mendasarkan semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi.

Maka berdasar teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial. Paham ini sendiri mendapat dukungan dari para filsuf seperti Epikuros, Demokritos dan Lucretius Carus yang tidak jauh berbeda dengan materialisme yang berkembang di Perancis pada masa pencerahan. Kita bisa membaca karangan La Mettrie yang berjudul L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan) sebagai bentuk karangan yang mewakili paham ini.

Yang perlu ditekankan ialah memang dalam hidup kita memerlukan materi, bahkan saat kita berpikir pun kita tetap memerlukan otak sebagai bentuk materi untuk mendukungnya. Tetapi, haruslah kita mampu menguasai sifat materialis itu sendiri atau akan terjadi hirearki terbalik, “Materi membunuh anda“. Penguasaan diri terhadap sifat ini sangatlah perlu, apalagi kaitannya kepada kita yang perempuan tetapi lelaki pun juga perlu. Karena apa? Sebagai perempuan, kitalah yang akan menjadi penggerak mesin-mesin operasional kehidupan rumah tangga. Menanamkan mental dan juga pemikiran kepada anak2, jika sebagai perempuan kita tidak mampu mengendalikan sifat materialis maka hal ini akan sangat buruk dampaknya terhadap lingkungan keluarga kita. Sebagai mesin kontrol utama yang menanamkan dasar-dasar pemahaman kepada anak2 jangan sampai anak2 tersesat dalam paham materialisme yang tak terkendali. Tidak ada satu pun manusia apalagi perempuan yang tidak punya sifat materialis, karena segala keperluan hidup yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani tidak dapat terpenuhi hanya dengan berdo'a tanpa adanya usaha untuk memenuhinya, dalam hal ini bisa dengan bekerja.