Manusia, antara menilai dan penilaian. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik sikap “penghakiman“?
Kecenderungan manusia untuk “menghakimi” dalam arti melabeli, mengkritik, menghukum, dan sebagainya dalam memberikan sebuah penilaiannya. Penilaian kita terhadap orang lain memainkan peran penting dalam mendorong pemisahan diantara kita. Pemisahan yang dimaksud adalah bagiamana kadar reaksi otak kita mengelompokan orang tersebut dalam lingkaran kita.
Untuk alasan apa pun, pikiran kita agaknya memiliki apa yang tampaknya menjadi kecenderungan alami untuk memberikan penilaian pada orang, tempat, situasi, dll. Meskipun tidak ada seorang pun yang ingin dianggap menghakimi, sepertinya deskripsi ini membawa konotasi yang sangat negatif, faktanya adalah bahwa semua orang pernah menghakimi. Termasuk saya dan anda, bukan? Pada dasarnya adalah mustahil untuk sepenuhnya menghindari melakukan penilaian, karena kenyataannya hampir setiap pikiran kita memiliki beberapa penilaian yang terkait.
Kita menilai bahwa seporsi makanan itu enak dan tidak, menilai bahwa si A itu baik atau tidak, bahwa bunga Lili lebih menarik dari Kamboja. Semua ini adalah bentuk penilaian kita, penilaian terhadap materi ataupun bukan.
Namun, sangat penting di sini untuk membuat perbedaan antara istilah penilaian dan observasi. Penilaian melibatkan pendapat kita bersama dengan emosi, sedangkan observasi hanya melibatkan komentar pada apa yang kita perhatikan.
Dalam setiap peristiwa, langkah pertama dalam mengenali kecenderungan kita untuk menilai adalah dengan mengakui kepada diri sendiri bahwa kita sedang melakukan penilaian. Hal ini tidak berarti dengan cara apapun bahwa kita adalah orang yang menghakimi, melainkan hanya berarti bahwa anda mengakui kecenderungan perilaku ini bukan menyangkal.
Hanya ketika kita sadar untuk menerima bahwa kita melakukan penghakiman secara teratur, kita dapat mulai untuk menjadi lebih sadar ketika kita melakukannya. Hal ini juga sangat penting untuk memahami tentang apa arti menilai orang lain.
Secara khusus, alasan kita menilai orang lain adalah bahwa kita melihat mereka, bukan sebagai mereka, tetapi seperti kita. Dengan kata lain, kita memfilter mereka melalui sistem keyakinan kita. Oleh karena itu, penilaian kita tidak benar-benar mengatakan apa-apa tentang orang lain; mereka hanya menggambarkan apa persepsi kita. Setiap kali seseorang berbuat tidak ‘sesuai’ dengan standar pribadi kita, kita secara otomatis memberi semacam penilaian pada mereka.
Pada intinya ketika kita dengan sangat gampang menjugde seseorang itu keliru atau katakanlah salah dan sesat hal ini semata-mata pendapat kita bersumber dari “keakuan saja“. Lalu mengapa kita tidak mencoba lebih open mind dan memandang sesuatunya dari sisi yang berbeda (diluar standarisasi pikiran kita).
Seperti halnya seseorang yang berlagak begitu tahu mengenai fisika kuantum tetapi hanya memberikan penjelasan yang sifatnya sepotong-potong tanpa sebuah observasi yang bergerak diluar lingkarannya. Maka yang demikian hanya akan terasa “nampak sebagai ahli“ saja, bukan?
Pada dasarnya seorang yang benar-benar ahli dan paham tidak akan memberikan penilaian tanpa sebuah penjelasan jika memang si A yang kita nilai itu memiliki kekeliruan.
No comments:
Post a Comment