Pancasila.
Rumusan agung dasar negara,
Berubah sudah jadi moto para keparat mencari laba.
Keuangan Yang Maha Esa,
Korupsi yang adil dan lupakan kemanusiaan beradab,
Persatuan penjahat negara saling menjaga.
Kerakyatan yang dipolitisir oleh nikmat mencari selamat,
kebijaksanaan dalam usaha memiskinkan bangsa.
Keadilan bagi seluruh anggota dewan dan parlemen dalam menikmati hasil bersama.
Setan, apa pantas aku samakan dengan mereka.
Setan dan iblis pun tetap konsisten dengan ikrar kesetanan dan keiblisannya.
Lalu, ikrar manalagi yang mereka ingat saat menjadi wakil mengatur negeri?
Sumpah serapah jabatan dan kitab suci?
Ah, itu hanya simbolitas upacara pelantikan.Atau, janji-janji saat kampanye?
Itu juga cuma rayuan.
Presidenku mendua,
Negara entah berada pada urutan ke berapa.Partainya lebih penting,
Eksistensinya lebih narsis,
Perihatinnya seujung langit.
Hakim-hakim tipikor tidak lagi ingat sila-sila Pancasila.
Atau pun terlalu sibuk mengingat nominal suap yang harus dijual-belikan.
Terdakwa mengajukan banding,
Saksi berbalik kena tuding.
Pengacara berteriak dan tertawa sumbing
“Orderan lancar, cing.”
Ah, dikiranya aku terlalu lancang nantinya.
Sudahlah, ini ocehan Markonah yang mungkin sakit jiwa.
Bentuk lara dan kecewanya sebagai warga.Siapa peduli siapa sekarang?
Markonah hanya buruh sinden yang tidak diperhitungkan.
Bahkan mungkin nyawa hilang tak disemayamkan.
Tapi, Markonah telah ikrar.
Dia tetap Markonah yang melawan kebejatan.
Markonah tetap nyinden,
Tak peduli presiden bikin insiden.
Pancasila, Sila sindenan MarkonahAyda IdaaBraemar Hill, 6 March 2013Foto: conworld.wikia