Pada pertengahan abad ke 19, seorang tokoh fisika Werner Heisenberg melontarkan prinsip ketidakpastian (principle of uncertainty). Bersama Erwin Schrodinger merumuskan mekanika yang lebih sempurna dari Mekanika Newton yang disebut Mekanika Kwantum (Mekanika Gelombang). Mekanika Newton sendiri memerlukan penyempurnaan, khususnya apabila digunakan membahas partikel-partikel pada skala atom. Namun bukan soal ini yang ingin saya tekankan, Ilmu pengetahuan diatas pun didapat bukan dengan gampang. “Asal Nyomot“. Tetapi melalui tahapan-tahapan dan banyak sekali penelitian. Yang perlu kita garis bawahi ialah ilmu pengetahuan itu berjalan dan beekembang, tidak statis. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak selalu pasti, ia selalu berkembang dan bisa jadi dipatahkan penemuannya oleh penemu dimasa yang akan datang.
Ketidakpastian ini melahirkan paham pragmatisme. Selain itu kenyataan sejarah menunjukkan bahwa suatu pernyataan ilmiah pada suatu masa yang dianggap benar dapat dipatahkan dilain waktu, akibat dari perkembangan ilmu itu sendiri yang menemukan kebenaran yang lebih reliable. Jadi menurut penganut paham Pragmatisme kebenaran dilihat dari perspektif waktu. Misalnya, jika pada suatu waktu seseorang menemukan fakta-fakta yang mendukung hipotesis A maka tidak berarti hipotesis tersebut diterima selamanya. Bisa jadi di waktu selanjutnya ditemukan fakta yang justru mematahkan hipotesis A. Bukankah jika demikian kebenaran hipitesis itu bersifat temporal? Artinya hanya dianggap benar selama belum ditemukan fakta yang menolak kebenarannya. Jika kelak kebenaran hipotesis itu gugur, maka dianggap tidak terlalu penting selama ia bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Maka seorang pragmatis mengukur kebenaran dengan kriteria sejauh mana pernyataan itu memiliki kegunaan. Kebenaran diukur dari fungsionalitas-nya? Jadi bagi pragmatis selama memberi manfaat maka dianggap benar, dan ketika tidak bermanfaat lagi baru ditinggalkan.
Pragmatisme hanyalah sebuah teori tentang kriteria kebenaran yang berpegang pada metode ilmiah. Tidak termasuk aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filosofis. Mencari pengetahuan tentang alam dan menafsirkan gejala-gejalanya untuk kepentingan hidup manusia. Apakah mereka tidak percaya agama? Percaya, namun dengan anggapan berguna memberikan pegangan moral kepada masyarakat.
Mari kita telaah pernyataan diatas.
1. Jika epistemologi sekuler mengatakan bahwa kebenaran harus dilihat dari pespektif waktu atau bersifat temporal, maka yang perlu dipertanyakan ialah kebenarkan yang tidak termakan waktu yang senantiasa benar dari sejak dan sampai kapanpun di sampaikan. Maka jika ingin mematahkan logika-logika yang sifatnya hanya temporal haruslah paham akan kebenaran yang infinite. Kita tidak bisa memaksakan bahwa apa yang kita anggap benar harus dibenarkan oleh orang lain.
Pemikiran rasional cenderung bersifat solipsistik dan subjektif. Melalui penalaran rasional akan diperoleh aneka penjelasan mengenai suatu objek tanpa ada konsesus yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebuah ide mungkin jelas dan dapat dipercayai bagi seseorang tetapi belum tentu demikian bagi orang lain.
2. Bahwa kaum pragmatis hanya memanfaatkan agama, karena agama dianggap fungsional dalam kehidupan manusia. Mereka mempercayai ajaran agama sepanjang ajaran itu bermanfaat, sementara yang tidak bermanfaat mereka abaikan. Maka yang harus kita sadari ialah, “Bermanfaat menurut ukuran siapa?“
Menurut kaum pragmatis, agama menimbulkan pengaruh baik pada jiwa individu maupun masyarakat. Bukankah jika demikian, manfaatlah yang menjadi ukuran kebenaran bukan kebenaran yang menjadi ukuran manfaat. Maka, tidaklah mengherankan jika ada yang dengan gampang saling menuding dan menyalahkan. Sebab dalam pandangan kaum pragmatis hal itu dipandang tidak bermanfaat.
Mempelajari sebuah agama bisa saja berangkat dari keragu-raguan atau awalnya bermula dari percaya kemudian berakhir semakin percaya atau justru menjadi ragu dan tidak percaya. Berbeda dengan kajian keilmuan yang justru berangkat dari keraguan (skeptis) dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Seorang ilmuwan mula-mula selalu ragu akan sesuatu. Jika ada suatu pernyataan yang disuguhkan kepadanya maka seorang ilmuwan memerlukan penjelasan logis tentangnya, dia meminta bukti empirisnya, memerlukan fakta-fakta dalam dunia fisik yang mendukung penjelasan tadi. Bagaimana jika dalam rangkaian pengetahuan ilmiah yang sudah ia ketahui terdapat satu saja pengetahuan yang salah?
No comments:
Post a Comment