Saya menyimpan ini untuk waktu yang lama, berpikir ulang untuk menuliskannya. Apakah layak dibaca? Apakah pantas dijadikan pelajaran? Tapi inilah titik perubahan hidup saya. Hijab.
Hijab.
Rasanya dari dulu sebuah kata yang asing bagi saya, sebab di dalam keluarga memang tidak ada mengenakannya. Itu yang pertama. Kedua kalaupun dulu pergi mengaji ya hanya sebatas dikenakan kerudung asal-asalan untuk menutup kepala. Di keluarga besar saya hanya ada 2 orang sosok perempuan, nenek dan ibu. Selebihnya mereka adalah laki-laki. Ibu saya pun perempuan satu-satunya dari 5 bersaudara. Ini adalah awal yang mempengaruhi saya justru enggan bersosialisasi dengan tetangga. Bermain dengan sesama anak perempuan yang sebaya, sangat jarang. Kalaupun bermain dengan anak-anak perempuan justru yang usianya 3 tahun lebih diatas saya. Inilah bibit-bibit ketomboian yang saya rasakan. Sebab ibu memang kurang memperhatikan bagaimana perkembangan pola pikir saya. Sebagai orang tua muda, mereka lebih berpikir untuk memenuhi kebutuhan fisik. Walau pun dari keluarga biasa-biasa namun sejak kecil saya tidak merasa kekurangan soal kebutuhan fisik. Bahkan saya merasa memiliki fasilitas yang lebih baik dari anak-anak disekitar saya.
Lambat laun kehidupan berubah. Saya merasa sesuatu yang aneh dengan kepribadian saya sendiri. Terkadang suka ngomong yang saya sendiri seperti baru pertama kali mengucapkannya, setelahnya saya bahkan tidak ingat dan tidak tahu apa yang baru saja saya katakan. Sekitar usia 5,5 saya mengalami typus yang parah. Rambut rontok, pucat, kurus sekali dan bahkan mulut tidak bisa dibuka untuk makan saja harus bubur yang sangat halus dan minum dengan memakai sedotan sehingga orang tua pun memutuskan menunda untuk memasukan saya ke sekolah.
Sejak di kelas 1 SD saya sudah merasakan sesuatu yang tidak biasa dialami anak seusianya. Katakanlah kecerdasan dan pola pikir itu melebihi anak seusianya, bahkan termasuk tingkah lakunya. Rasa ingin tahu dan penasarannya. Saking penasarannya dengan cerita tetangga mengenai hantu saya pernah diam-diam keluar rumah tengah malam, pergi ke makam tua di sebelah desa yang ditandai sebuah pohon beringin besar disana. Sejak dari SD saya tergolong tidak menyukai pergaulan, menyendiri dan bercakap dengan beberapa saja. Maka, tidak jarang saya dijauhi. Bahkan hampir tidak memiliki teman.
Menginjak kelas 3 SD mulai sedikit lebih terbuka. Apakah saya autis? Barang benar kali demikian. Namun, saya tidak harus pusing dengan istilah orang intelek ini. Apakah ada pengaruhnya dari orang tua dan lingkungan soal saya lebih suka menarik diri dan berpikir sendiri? Tidak. Sebab itu berasal dari diri saya sendiri, bahwa saya tidak menemukan kecocokan dengan mereka. Rasanya seperti tidak ada yang nyambung diajak bicara, mereka bilang saya aneh. Apa yang saya bicarakan katanya tidak paham. Ketika anak-anak seusia saya lebih suka berbicara tentang kartun atau lagu-lagu Eno Lerian maka saya lebih suka mengajaknya berbicara bahwa tumbuhan itu bernyawa. Atau sesekali saya ajak mengamati pojok-pojok sekolah yang dianggap seram. Sebab mereka tidak sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Sejak itu saya lebih suka menuliskan apa yang saya pikirkan, yang saya ragukan dan saya rasakan. Entah itu nyata atau sekedar imajinasi saya acap kali menemui hal janggal yang menurut teman saya sebenarnya tidak ada apa-apa.
Misalnya ketika hendak mengatakan, “Jangan kesana nanti kamu jatuh.“ maka hal ini justru dianggap ngaco. Padahal itu juga keluar tanpa saya ingin mengatakan. Perlakuan berbeda dari teman sebaya yang menganggap saya pribadi yang aneh justru membuat saya merasa lebih sombong berpikiran bahwa mereka tidak mampu mencapai apa yang saya pikirkan. Saya merasa bahwa saya berbeda, tetapi saya tidak berani bercerita kepada siapa saja. Saya mencari tahu dan memikirkannya sendiri.
Saya masih ingat jelas ketika saya harus jatuh menerima rangking 2 pada caturwulan kedua kelas 3 SD saya merasa bahwa teman saya yang peringkat 1 tidak layak. Sebuah sifat iri muncul dengan sangat kuat, bagaimana bisa saya yang dari kelas 1 tidak pernah terjatuh dari rangking 1 dikalahkan oleh anak sepertinya. Pikiran saya menganggap bahwa saya lebih layak. I am the winner not him, bagaimana dia yang menyontek dan jarang masuk justru mendapat yang lebih baik dari saya? Dan akhirnya seperti dendam kesumat, saya harus bisa menjadi yang terbaik lagi di kelas dan di sekolah. Demi melancarkan dendam itu, saya menjadi sangat sinis. Siapapun yang bertanya atau ingin menyontek PR tidak akan mendapat apa-apa. Kalau pun saya memberi jawaban maka yang keluar ialah jawaban dipalsukan, sehingga ketika menjelang ujian ada yang menyontek pekerjaan saya maka jawabnnya akan berbeda jauh dengan milik saya. “Enak saja aku yang belajar mati-matian kamu tinggal nyontek dan dapat rangking 1“. Begitulah yang saya pikirkan dulu. Menjadi juara kelas dianggap sebagai suatu keberhasilan akademis, hingga akhirnya rangking itu tetap setia dengan saya hingga kelas 3 SMP tanpa jatuh sekalipun pada peringkat 2. Pernah sekali waktu pas kelas 1 SMP catur wulan pertama, ada 2 orang rangking 1 dikelas. Saya dan teman saya, Mer. Saya menganggapnya saingan dan harus dikalahkan. Bagaimana pun saya tidak boleh menjadi no 2 dikelas.
Saya menulis ini bukan untuk berbangga merasa pintar dari orok, bukan. Namun, terlebih mengingatkan saya bahwa saya pernah menjadi pribadi yang sangat sombong terhadap ilmu pengetahuan yang dangkal. Merasa paling layak dan pintar, apalagi di dukung beasiswa prestasi dari kabupaten sejak kelas 4 SD sampai kelas 3 SMP. Hal inilah yang justru kala itu membuat saya buta, dan memandang bahwa yang dibawah saya itu bodoh. Sebab dalam pikiran saya tercipta sebuah pemikiran secara tidak sadar, bagaimana pun saya harus memimpin mereka. Saya tidak boleh berada dibelakang.
Kebiasaan suka berbicara (red. Presentasi), menulis dan membaca itu sudah sejak SD adanya. Mengisi mading sekolah, mengikuti lomba antar sekolah ataupun sebagai perwakilan murid teladan. Dan, yang jelas saya ingat ialah saya paling suka mengkritik apa yang disampaikan guru di kelas. Apalagi jika itu guru ganti yang hanya mewakili. Pernah sekali ingin berbuat iseng dengan 3 orang kawan saya, konon katanya kalau dibawakan tanah kuburan dan di taruh di kelas semua bakal kesurupan. Saya tidak percaya, dan hanya ingin membuktikan. Dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa, maka jika ada orang tua yang menakuti anaknya bahwa pemakaman itu menyeramkan sesungguhnya sama saja mengajari anaknya berbohong. Manusia lebih menyeramkan dari tanah kuburan.
Ketika anak-anak SD lebih suka membaca cerita kancil mencuri timun maka bacaan saya justru serat sastra Jawa milik mbah kakung. Ketika anak-anak lebih suka mendengarkan dongeng timun emas saya lebih tertarik mendengar bagaimana cerita mbah kakung tentang kisah Belanda dan tentara Jepang. Ketika teman-teman saya ingin pergi berlibur ke Kebun Binatang Surabaya saya justru ingin ke Papua seperti kakek (red. Kakak dari mbah Putri) yang dulu ikut dalam upaya pembebasan Irian Barat. Bahkan sampai detik ini saya terus menyimpan keinginan untuk bisa tinggal di Papua. Saya justru lebih tertarik bercerita dan mendengarkan cerita dari mbah kakung dan teman-temannya. Karena beliau juga saya lancar membaca dan menulis huruf jawa sejak kelas 5 SD tetapi justru tidak setelah dewasa. Tepatnya setelah saya menjadi lebih tua. Sejak di SD saya tidak menyukai pelajaran PAI, pertama karena gurunya yang menurut saya suka pilih kasih dan menghukum jika tidak hafal atau menyuruh anak didiknya berdiri di kelas lalu di pukul dengan “juding“ (Tongkat untuk membaca di papan tulis yang dibuat dari bambu).
Saya sering beralasan kalau jam PAI dan menurut saya beliau lebih cocok menjadi tukang dongeng untuk kami dengan menceritakan kisah para nabi.
Sediam-diamnya saya menarik pergaulan menjelang masa puber tetap saja akhirnya bergaul juga. Saya yang biasanya diam, berbalik arah. Seakan mendapat angin segar untuk bergaul sesuka hatinya. Masa puber haruslah menjadi catatan bagi setiap orang tua dan calon orang tua bahwasanya pada masa itu mereka justru butuh perhatian extra. Tidak malah dibiarkan karena dianggap menuju dewasa, justru masa itulah pengawasan diperlukan. Apakah si anak bergaul dengan baik atau mengikuti arus kenakalan remaja.
Sejak kecil saya hampir tidak pernah dilarang oleh orang tua, bagaimana saya mengatur kegiatan di sekolah atau pun di luar sekolah. Masa SMP adalah senang-senangnya membentuk penampilan. Mengikuti gaya sinetron atau justru memiliki style sendiri, dan bagi saya tampil setengah tomboi itu jauh lebih nyaman. Tak urung ketika saya tak lagi memakai baju perempuan ibu mulai cerewet dan memilih-milih mode baju remaja terbaru. Sebagai catatan ibu selalu update perihal mode pakaian. Justru pada masa itu saya merasakan sebagai percobaan ibu dalam memilih mode. Suka tak suka ketika ibu harus memakai baju A maka ialah A yang dipakai, saya paham maksudnya agar saya tidak jatuh lebih dalam berdandan seperti laki-laki. Dandanan boleh sedikit memang mirip perempuan, tapi naluri mengatakan bahwa saya tidak bisa terus demikian. Jadwal les sudah diatur setiap hari, bahkan hampir tidak ada waktu untuk bermain. Tapi apa sich yang tidak bisa dimainkan? Hati manusia saja sangat bisa dimainkan, apalagi hanya jadwal les.
Kala itu saya menyampaikan niat untuk mengikuti beladiri seperti yang ditekuni kedua om saya, untuk ukuran anak SMP tentu orang tua saya tidak langsung mengiyakan apalagi saya seorang perempuan. Segala jurus dilakukan untuk mendapat ijin, alhasil setiap minggu malam saya dibolehkan mengikuti latihan beladiri selepas maghrib hingga jam 10.00 malam. Kadang-kadang berlatih ke luar kota atau pelatih dari luar kota yang datang. Kalau sudah begitu bisa sampai jam 12 atau 1 malam baru pulang, banyak hal yang saya dapat disana. Selain belajar jurus dan tendangan, tapi juga belajar bagaimana kita harus membentuk kepribadian.
Lantas apakah pribadi saya terbentuk disana? TIDAK.
Justru saya semakin lama semakin menyadari bahwa hal aneh dalam diri saya semakin besar. Jika tidak mau dikatakan plin plan maka katakanlah saya berkepribadian ganda. Disisi lain saya bisa sangat baik dihadapan orang, namun disisi lain saya memiliki pribadi yang sangat tengil. Diam-diam tanpa sepengetahuan om saya sebagai pelatih beladiri, saya sering kali merasa jadi ga mempan kalau dipukul orang. Suka nyobain di luar arena pelatihan atau pertandingan. Saya merasa bahwa meski perempuan bisa kok ngepalin tangan dan melawan.
Saya punya kebiasaan buruk masa itu yaitu senang melihat orang tawuran. Pada masa kelas 3 SMP itulah jiwa itu berkembang. Suka tawuran. Baik dengan sesama pelajar SMP satu sekolah maupun beda sekolah maupun anak-anak tidak sekolah, melompati pagar untuk sekedar kabur di jam kosong juga sering dikerjakan. Lalu bagaimana bisa saya masih menerima beasiswa prestasi di kelas 3 padahal saya sudah sering bikin onar? Maka inilah yang saya sebut kepribadian ganda. Tidak ada 1 orang guru dan staff pun yang tahu saya bagian anak-anak yang sering membikin ulah merusak pagar. Jaman itu saya memiliki teman satu geng, meski tidak semuanya suka tawuran seperti saya. Tapi mereka ibarat teman nongkrong di kelas, di kantin, di perpus. Selebihnya tidak ada ikatan lainnya, teman-teman saya justru lebih banyak anak-anak di luar sekolah. Dari merekalah saya belajar dan menjadi lebih tengil dari teman saya sendiri.
Ada satu teman sekelas saya, namanya Hari. Anaknya memang rada seenaknya dan suka godain cewek-cewek. Pernah sekali saya dan Dew memukulnya sebagai upah atas omongannya yang tidak senonoh. Kepalanya dipepetkan ke nako jendela, kemudian kami tonjok tepat di hidungnya dengan bergantian. Sedang kawan saya yang lain menjaga pintu kalau ada yang datang. Setidaknya cukup manjur untuk membuatnya jera tidak mengganggu lagi.
Melepas masa puber dan beranjak menjadi bagian putih abu-abu kesannya sangat menyenangkan. Jika biasanya anak-anak SMA menganggap kami sebagai anak kecil sekarang merasa sejajar secara tingkatan sekolah formal. Kebandelan makin merajalela, namun di sekolah saya tetaplah murid sekolah yang sekali-sekali saja melanggar peraturan. Beranjak gede mulai terpengaruhi dengan teman-teman di luar sekolah. Nongkrong selepas sekolah rasanya menjadi tujuan wajib. Melepas baju seragam dan menggantinya dengan baju biasa yang sudah dipersiapkan. Makin hari makin bandel, mula-mula hanya sekedar mencoba sebatang rokok lama-lama menjadi dua batang. Pertama batuk-batuk tapi tidak lama menjadi kebiasaan. Hanya saja (katakanlah berkepribadian ganda) semuanya di lakukan di luar jam sekolah, walau demikian tetap saja mempengaruhi pelajaran akademis. Hari demi hari nilai raport anjlok. Jika biasanya saya tidak mau dikalahkan kini saya harus merasa puas hanya berada pada 5 besar. Kenapa dari tadi saya menyebutkan prestasi akademis? Sebab itulah dulu yang menjadi patokan, bentuk laporan tanggungjawab saya sebagai anak sekolah kepada orang tua. Orang tua memberi kebebasan berkegiatan extra ataupun di luar lingkungan sekolah selama itu positif, sepositif apapun laporan yang kita buat tetap saja lebih pintar yang membuat laporan. Maka inilah yang ingin saya tekankan, bahwa Kebebasan dari orang tua bukan berarti kita boleh berbuat apa saja sesukanya tetapi kebebasan itu harus tetap bertanggungjawab tanpa menghianati kepercayaan orang tua. Dan bagi orang tua memberikan kebebasan bukanlah melepas anak-anak seenaknya tanpa di kontrol ataupun di lihat apa yang anaknya kerjakan di luar pengawasannya.
Lalu apakah ini salah orang tua sehingga saya menjadi sangat bandel dan tidak terkontrol kala itu? Bukan.
Orang tua sudah berusaha memberi yabg terbaik untuk saya. Tetapi saya secara sadar menyalahgunakannya, mengibuli mereka apalagi saya tinggal berjauhan. Ini menjadi kesempatan. Jadi untuk orang tua, berikanlah pengawasan extra bagi yang anaknya kost atau tinggal bersama saudara/kakek nenek.
Jika kelas satu SMA saya hanya bermain rokok namun tidak di kelas 2. Saya mulai menghisap ganja dan sejenisnya. Menggunakan putaw sesekali. Dan sesuatu yang memang mengejutkan tidak ada lingkungan sekolah yang menemukan saya sedang memakai. Yang sebagian mereka rasa mungkin saya menjadi lebih pendiam dan menarik diri dari keributan bersama teman-teman sebelumnya. Ya, sejak saat itu saya resmi menjadi pemakai hingga akhir kelas 2.
Belum sempat ketergantungan dengan parah akhirnya entah siapa yang mengingatkan saya sadar juga. Bahwa saya tidak boleh begini, harus bisa mengangkat diri lagi. Akhirnya saya tinggalkan teman-teman saya yang pemakai. Saya konsentrasi dengan sekolah. Harus bisa naik kelas sesuai program yang saya inginkan, Bahasa dan Sastra.
Akhirnya saya masuk ke jurusan Bahasa dan Sastra sesuai keinginan saya yang memang menyukai sastra. Sifat bandel masih kambuh kadang-kadang saja. Sebagai catatan yang lupa saya tuliskan saya adalah anggota aktif extra teater di sekolah sekaligus sebagai ketuanya. Hal ini menjadi kesempatan bagi saya untuk sering keluar rumah selepas jam sekolah. Disana saya mulai mendapatkan pengetahuan baru, belajar menjadi lebih dewasa di lingkungannya. Namun tetap liar diluar organisasi. Sekali lagi saya katakan bahwa saya pemilik kepribadian ganda. Dan saya menyadarinya.
Adakah bibit-bibit psikopat juga disana? Barangkali ya hehehehe...
Ketika berada dalam kesendirian saya sering sekali terjebak di dalam dua “aku“. Apakah yang saya kerjakan benar atau salah? Pertentangan batin selalu ada. Pada masa itu saya sering sekali merasa ingin menyakiti orang 10x lipat lebih sadis ketika mereka menyakiti saya. Apapun caranya, mereka harus merasakan yang lebih parah dari apa yang mereka perbuat. Jika tak langsung saya yang mengerjakan maka saya membuatnya sakit dengan orang lain. Disisi lain saya tetaplah pelajar SMA ternama di kotanya yang tugasnya ialah belajar menyiapkan ujian akhir nasional. Menjelang ujian nasional persiapan keras saya lakukan, mengingat 2 tahun sudah saya sekolah asal-asalan. Lebih menikmati urusan di luar jam sekolah. Maka saat itu adalah waktu yang pas untuk cuek dengan segala persoalan di luar menyiapkan ujian.
Teman-teman yang biasanya datang ke rumah dan jalan beramai-ramai mulai menjauh dan suka mencibir. “Dul, gaya belajar terus sekarang. Keluar yuk.“ Maka jawabannya hanya saya masuk kamar atau membuka buku pelajaran. Kalau biasanya saya lebih suka duduk gitaran di teras bersama mereka, main catur atau sekedar bersenda gurau maka saya sendiri yang memutuskan untuk tidak menemui mereka. Walau terkadang ketika saya ingin sekali memakai putaw dan tidak ada rasanya sangat menyiksa. Ujian selesai dengan hasil 3 besar. Tapi tidak ada kepuasan disana, kenapa hanya beda 0,4 saja saya harus tertinggal? Dan terlebih cuma dikalahkan dengan anak yabg suka ngacir, membolos dan menyontek saja dikelas. Bahkan jika sama-sama ditanya secara lisan, saya yakin saya jauh lebih pintar. Sombong. Kesombongan itu tidak akan bertahan lama. Sesungguhan kepintaran yang kita miliki bukanlah sekali-kali untuk dirasai bahwa kita pintar. Pintar itu mampu membawa diri. Andai saja kala itu saya juga berpikir demikian ya.
Semua siswa berencana ingin melanjutkan kuliah. Saya mengajukan beberapa lembar formulir beasiswa untuk jurusan pariwisata dan Sastra di Jogja. Tes demi tes dilakukan, setelah salah satu kampus akademi Pariwisata yang saya inginkan mengiyakan beasiswa ternyata orang tua tidak menyetujuinya. Perdebatan pun tak bisa dihindari. Berkas-berkas beasiswa saya bakar sambil ditangisi. Dilain pihak secara bersamaan beberapa kampus lokal di Kediri, Malang dan Surabaya juga melayangkan surat keterangan memperoleh beasiswa berdasar hasil ujian nasional dan rekap catatan prestasi yang ada. Syarat utama ialah bahasa Inggris untuk jurusan sastra Inggris yang menjadi pilihan kedua saya. Akhirnya saya memutuskan mengambil salah satunya dari Kampus ternama di Surabaya. Tidak berapa lama disana. Kambuh lagi karena pergaulan. Dan itu justru semakin parah. Hobi menggunung semakin menggila dan tidak tertahan, kuliah berantakan, masalah narkotika tidak lagi tertasi. Dan akhrinya DO. Kemana saya yang dulu rajin?
Pada masa itulah pencarian dimulai. Saya menjadi sangat ragu dengan apa yang selama ini saya pelajari. Islam. Benarkah Islam adalah agama yang damai, jika ternyata biang kerusuhan justru ialah muslim? Bom Bali yang sangat segar dalam ingatan saya kala itu. What's the real freedom?
Perjalanan demi perjalanan dimulai, tanpa sesuatu yang jelas mencarinya kemana. Luntang lantung dengan pergaulan yang semakin tidak jelas. Peran orang tua tidak lagi diindahkan sama sekali. Bahkan bisa jadi dianggap tidak ada.
Saya ingin sekali menuliskan ini, namun dengan sangat hati-hati. Saya menyadari bahwa membicarakan keyakinan adalah suatu hal yang sangat sensitif. Dari salah seorang kawan asal Bali, sebut saja Blih Made saya mempelajari bagaimana menjadi umat hindu yang baik. Segalanya diberitahukan bahwa hukum karmapale itu nyata, Sang Hyang Widi Wase itu ada. Tak lama saya berlari lagi.
Jatuhlah pada seorang pemuka nasrani, katolik. Segala kebesaran Yesus diceritakannya. Di sadarkannyalah bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya, saya diajak membaca injil setiap hari agar hati semakin tenang. Agar kebodohan saya tidak terulang. Tapi hati semakin ragu dengan kata Tuhan.
Sampai ujungnya perhelatan itu sampailah pada ajaran welas asih. Yang menyatakan kosong ialah isi dan isi ialah kosong. Perenungan demi perenungan saya jalani menurut kata guru saya. Menyerahakan untuh kepada sang penguasa, bahwa hidup manusia akan mengalami reinkarnasi nantinya.
Gejolak itu tidak hanya sampai disana. Bahkan saya merasa hampir-hampir gila. Atau memang sudah gila? Perhelatan batin demi batin terus terjadi hingga pada masanya saya menyesal mengenal Tuhan. Saya percaya bahwa kebaikan manusia sudah cukup untuk segalanya. Tuhan hanya sesuatu yang khayal dari buah pikiran manusia. Buku-buku filsafat mulai memenuhi otak saya, seperti diinstal ulang rasanya. Saya tidak percaya dengan adanya Tuhan, dan agama ialah sumber musibah dan kekacauan. Saya tidak peduli apakah orang menganggap bahwa Atheis itu dosa, dosa menurut kaca mata siapa? Bukankah kebenaran itu relatif menurut sudut pandang mata siapa, benar menurut saya belum tentu benar menurut orang lain. Saya menjadi begitu sensitif dan kritis jika ada yang mengusik soal keyakinan. Hingga sampai akhirnya saya memutuskan meninggalkan semua yang ada. Tentang pencarian dan kehidupan. Berbagai persoalan dengan teman dan keluarga cukup banyak, saya hanya butuh ketenangan kala itu. Maka ketika kawan saya menawari pergi ke Luar negeri saya setujui sekalipun sebagai migran worker. Semua saya tinggalkan. Dengan segala upaya, tapi ternyata saya tak bisa karena tes kesehatan tidak mengiyakan.
Sampailah perjalanan itu hanya jadi pengangguran dan tak tahu mesti bagaimana. Lontang lantung tidak jelas, Ya barangkali akal sudah tidak berfungsi. Akhirnya saya masuk rehabilitasi, melakukan pengobatan dari obat-obatan. Narkotika memang seperti gelas kaca, ia tembus pandang menawarkan segarnya anggur atau bir didalamnya. Menyejukan sejenak kemudian menusuknya perlahan, jika pecah maka pecahannya akan melukai siapa saja. Maka bagi setiap orang tua hendaklah selalu memperhatikan dan mengawasi perubahan-perubahan anaknya. Jangan lantas asal percaya bahwa anak saya baik-baik saja.
*Bagaimana Proses saya hingga memutuskan untuk berhijab? Nanti saya lanjutkan. Tetap setia kepada proses. Dijaga api lilinnya jangan sampai terbakar.