Searching

Saturday, 28 December 2013

Puisi : Maemunah tak pernah punah

Mimpi!
Bukan nyata memang,
Tapi tak mustahil bisa menjadi nyata,
Sedang impian,
Hanya menjadi nyata jika diwujudkan,
Seperti halnya mimpi si Maemunah,
Menjadi emak yang berkualitas,
Dengan segala kondisinya yang terbatas,
Tebas,
Segala penghalang digilas, tuntas.
Melawan malas!

Maemunah!
Emak beranak dua yang suaminya kabur dengan janda sebelah,
Hidupnya susah,
Ekonominya lemah,
Ia terpaksa menjadi TKW agar anaknya tetap bisa sekolah,
Meskipun lelah dia tak resah,
Walau perih ia tak letih,
Biarpun berat dia tak jua menyerah,
Semangatnya tetap tak mau kalah.

Senin hingga sabtu dia bekerja di rumah majikan,
Pergi ke pasar setiap pagi,
Memasaknya hingga siap disaji,
Menyapu lantai,
Mengepel hingga tak ada sehelai rambut pun terkulai,
Mencuci kamar mandi,
hingga menggantikan celana dalam si nenek yang cerewetnya tak tertahan lagi,
Semuanya demi sang buah hati.

Usianya memang lebih separo baya,
Tapi semangatnya tiada dua,
Minggu di kala libur ia tak pergi hura-hura,
Ia mendaftar sebagai murid kejar paket setara SMA,
Di waktu luang ia tak segan-segan berguru pada yang muda,
Sempat ada kawannya bertanya,
"Usia sudah empat puluh lima tahun kenapa masih juga ingin sekolah?"
"Inginku jadi perpustakaan hidup bagi keluarga," jawabnya ramah.

Dalam keterbatasan waktu ia belajar tanpa kurang akal,
Menyiasati si nenek agar tak marah secara brutal,
Sesekali buku ditaruhnya di bawah bantal,
Dicatatnya bagian penting untuk dihafal,
Agar ia terus bisa belajar.

Baginya usia tua bukan penghambat,
Atau mencari alasan karena kerjaannya yang padat,
Yang dia pikir cuma nekat,
Nekat belajar meski orang bilang sudah telat,
Prinsipnya tak ada kata terlambat,
Selama tubuh belum masuk liang lahat,
Tekadnya akan tetap bulat,
Melawan kebodohan yang membuatnya hidup melarat.
Bahkan nyaris pernah sekarat sebab tak mampu kerja untuk sekedar menebus obat.

Kini ia berlanjut meneruskan kuliah,
Setelah purna kewajibannya membiayai kedua bocah kuliah,
Kini mereka sudah dewasa,
Si sulung telah menikah dan menjadi guru Madrasah Aliyah,
Si bungsu telah menjadi tentara angkatan laut pemerintah,
Dadanya bungah,
Senyumnya sumringah,
Harapannya merekah,
Semangatnya luar biasa tak pernah goyah,
Yakinnya satu,
Bahwa Allah Maha Pemberi jalan yang cerah
bagi setiap manusia yang memperjuangkan nasibnya tanpa lelah.

Sunday, 15 December 2013

Kembang Djiwangga

Kembang Djiwangga
Oleh: Ayda Idaa

Seketika itu dia berjalan dengan gemulainya menapaki areal persawahan yang menguning dengan mesranya, rambutnya terurai melambai bagai ombak yang berkejaran dilautan selatan. Warna merah jambu gaunnya membuatnya tampak lebih anggun meski usianya baru 12 tahun. Gadis itu bernama Seruni, dari keluarga kecil di lereng gunung Willis. Bapaknya telah meninggal sejak dia masih kelas 4 sekolah dasar. 

Ia duduk di pinggiran sawah sambil melamun dan mengingat-ingat sosok bapaknya. Bapak yang sangat dikaguminya. "Bapak, Runi kangen bapak," katanya lirih.

*******

Hari itu di ingatnya kembali bapaknya yang tadi pagi masih mengantarnya ke sekolah dengan sepeda ontelnya tampak begitu sehat dan bergembira. "Bapak, kulo kepengen sekolah kados mas Wardoyo yogane pak lurah. Angsal mboten nggih, Pak?" katanya lirih sambil dipegangnya pinggang pak Ilham melewati batasan persawahan dengan gaya bahasa jawanya yang luwes.

"Lihat gunung Willis itu, Nak! Tangan manusia tak akan mampu menggapainya. Begitu juga dengan keinginanmu, bapakmu ini hanya menyewa sawah untuk ditanami bagaimana bisa menyekolahkanmu seperti nak Wardoyo?" jawab si bapak dengan kerasnya.

Dalam hatinya gadis kecil itu bertanya, kalau bapakku punya sawah dan ternak banyak mungkin aku bisa sekolah seperti mas Wardoyo. Dan Seruni hanya mampu menatap awan-awan langit pagi itu seakan ingin mengadukan berontak jiwa kekanak-kanakannya. 

Boleh dibilang pak Ilham dan istrinya Salimah hanyalah keluarga kecil, mereka hanya petani kecil dengan hasil bagi panen kepada pemilik sawahnya. Pekerjaan mereka hanya pergi kesawah di pagi hari kemudian pulang hingga lepas tengah hari, maka Seruni yang memiliki wajah ayu alami pun terkadang mesti ikut emaknya berjualan di warung agar kebutuhan mereka tetap terpenuhi. Hari itu sepulang sekolah Seruni melihat kerumunan orang-orang yang begitu banyak di rumahnya yang sederhana.

Perempuan-perempuan datang membawa ember berisi beras, sebagian lainnya sibuk menyiapkan tungku di dapur, dan sebagian tampak sibuk merangkai bunga. Para lelaki membaca ayat-ayat suci di sekitar seseorang yang tubuhnya membujur kaku, dilihatnya tubuh itu tertutup kain putih. Sesekali didengarnya orang-orang berkata, "Runi sing ikhlas, Runi yang ikhlas harus sabar". Dia pernah melihat kejadian yang sama di rumah tetangganya tapi waktu itu ketika mbah Marni meninggal dunia. Lalu di rumah ini ada dia, emak dan bapak. "Emak, emak emak dimana emak?" Dia berlari mengitari rumahnya yang sumpek untuk di huni puluhan orang. Dilihatnya emak berbaring pingsan, sementara yang lain sibuk menyadarkannya. Lalu perlahan didekatinya si tubuh yang tertutup kain kafan.

Bu Sayidah tetangganya memeluknya. Sambil menangisi dirinya, menangis sejadi-jadinya. "Bapak meninggal ya bulik?" Orang-orang tak mampu menjawab mereka hanya menangis iba, apalagi pak Ilham dikenal sebagai sosok yang jujur dan ramah. Begitu dilihatnya wajah bapaknya yang kaku pucat pasi kini disumpali kapas dilubang hidungnya. Dia tak lagi mendengar jeritan dan juga tak melihat air matanya. Bapak meninggal, gumamnya tak berkata. Seruni kehilangan bapaknya, kehilangan orang yang setiap hari mengajaknya ke surau, menimbakan air untuknya mandi. Mengantarnya sekolah dan menjemputnya di kala siang sepulang dari sawah. Bapak meninggal, gumamnya. 

********

Hari-hari sepeninggalan almarhum pak Ilham Seruni membantu emaknya bekerja di warung, bahkan terkadang disambinya dengan belajar. Membaca buku-buku bekas yang diperolehnya dari para tetangga yang enggan lagi menampung tumpukan kertas usang. Tut Wuri Handayani, kata itu seakan memacu semangatnya untuk terus belajar. Ya, kadang-kadang dia pun harus rela bukunya kehujanan, dipangganglah buku-buku itu diatas tungku perapian agar tetap bisa terbaca. Menjelang magrib dia pergi ke surau, tempatnya belajar mengaji kepada ustad Ali Salman. Keadaannya yang benar-benar jauh dari sederhana terkadang mengharuskannya menambal mukena lusuh pembelian almarhum bapaknya. Dia gadis belia yang menginjak masa remaja, pada tubuhnya mulailah nampak perubahan-perubahan. Pada dadanya mulai tumbuh gunung-gunung seperti anakan gunung Willis, mulai menampakan kepadatan isinya. Suaranya mulai nampak begitu merdu ketika dibacanya ayat-ayat Al-Qur'an, rambutnya semakin panjang hingga melewati batas pundaknya. Namun kulitnya yang mulus nampak dekil penuh debu dan kurang terurus. Sempurnanya dia bisa dibilang mutiara dalam lumpur, yang tak pernah diperhatikan siapa yang melihatnya. Orang hanya mengenalnya sebagai anak yatim yang patut disantuni jikalau ada kelebihan rejeki.

Setahun dua tahun hingga enam tahun sepeninggalan bapaknya, emak masih begitu kuat dan menampakan ketegarannya. Namun akhir-akhir ini usia menggerotinya, tubuhnya semakin kurus dan tinggal tulang saja. Sesak napasnya sering kambuh, Salimah pun tak mampu lagi membuka warung sehingga untuk kehidupan sehari-hari ia terpaksa mengiris tanah untuk dijual. Belum lagi ia harus menebus obat, anak semata wayangnya pun sudah hampir lulus Madarasah Tsanawiyah. Salimah tahu putrinya adalah anak yang cerdas, sebenarnya ia ingin Seruni bisa sekolah ke kota namun apalah daya pereknomian lemah menghambat keinginannya. 

Beberapa kali pak lurah meminta agar Seruni diijinkan tinggal dirumahnya, maklum pak Sastro Raharjo hanya memiliki dua orang anak laki-laki Wardoyo Sastro Raharjo dan adiknya Marsudi Sastro Raharjo. Istrinya selalu membujuk bu Salimah agar mau tinggal bersama mereka saja, namun sifat keras kepala Salimah kadang juga membuat geram Seruni. Jiwa remajanya kadang juga memberontak dan mementingkan egonya sendiri. Dia ingin sekolah lagi namun dia juga tak ingin menjadi anak durhaka dengan melawan emaknya. Maka keinginannya untuk mondok pun harus di buangnya jauh-jauh, "Andai emak mengerti keinginanku ya Allah. Namun hamba tak ingin menjadi anak durhaka yang Engkau kutuk karena perbuatannya. Hamba hanya ingin kesembuhan emak ya Allah, dan hamba ikhlas menepis keinginan ini asal emak sehat dan bisa bahagia ya Allah", meneteslah air matanya seusai mengucap syukur dan hamdalah. Tuhan adil dan seadil-adilNya, apa yang terjadi pada setiap kehidupan manusia adalah yang paling baik dari yang terbaik baginya. Begitulah juga antara Seruni dan keinginannya.

Hari itu tepatnya malam Rabu Legi, hujan turun begitu derasnya. Petir menyambar dimana-mana, angin topan meniup dengan begitu kencangnya. Penduduk lereng Willis mendepis mendekap anak masing-masing, para lelaki berjaga dengan siaganya. "Hujannya deras sekali mak, sepertinya ada badai," Seruni mendekap emaknya. "Iya nduk, Allah sedang menegur kita. Bacalah Al-Qur'an, Nduk. Biar tenang."

Seruni beranjak mengambil wudhlu dari air hujan yang jatuh dari genteng rumahnya. Di ambilnya lampu teplok sebagai penerang meski kadang harus di tutupnya dengan tangan agar tak dipadamkan oleh tiupan angin. Salimah ikut duduk di samping anaknya sambil sesekali membetulkan bacaan Seruni yang salah. "Runi, emak mau ke kamar mandi sebentar kamu lanjutkan dulu ya." 
"Aku ikut mak, di luar licin sekali," katanya penuh kekhawatiran. 

Malam menunjukan pukul 1.40 dini hari, hujan masih begitu deras dan air pun tak bisa dihindari membasahi lantai tanah rumah mereka. Dari balik dinding bambu dilihatnya kilat masih menyambar dengan ganasnya. Salimah terbangun, dilihatnya Seruni masih duduk membaca ayat suci. "Nduk wis wengi kok isih tadarus? Temani emak sholat. Sudah lama kita tidak sholat malam bersama."

Sambil mengambil wudhlu Salimah menahan rasa sesak di dadanya. Mereka menggelar tikar di ranjang kayu sebab lantai rumahnya telah basah. Genteng rumahnya banyak yg bocor sehingga kalaupun hujan turun mereka hanya bertahan di bilik kecil tempat tidurnya. 

Keduanya sholat begitu khusyuknya, mengadukan kegalauan dan kegetirannya. Mereka tetap tabah dalam ikatan ibu dan anak. "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," Salimah mengucap salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian dibalikan badannya Seruni mencium tangan emaknya. Lalu keduanya menengadahkan tangan, meminta perlindungan kepada Yang Maha Esa. Seruni dan Salimah meneteskan airmata, mengingat akan almarhum pak Ilham yg biasanya menjadi imam dalam sholat. Lama sekali Seruni menunggu emaknya wiritan, bahkan hampir setengah jam lebih. Ada keanehan namun dia mencoba membuangnya, "Ah, mngkin emak hanya ingin berdialog lebih lama kepada Allah," pikirnya. Satu jam kemudian, emaknya belum juga selesai. Diberanikannya memanggil emaknya, "Mak, wiritane kok dangu kadingaren. Biasanipun amung setengah jam, jenengan sare njih Mak?" Katanya dalam logat jawa alus yang kental. Namun emak tak menjawab, tak menoleh tak ada suara. Didekatinya emak di sentuhnya, tiba-tiba tangannya dingin dan emak jatuh terguling tak bernapas lagi. Emak meninggal, gumamnya. 

Malam itu Seruni menjerit, menangis kekeras mungkin namun tangisannya tak terdengar oleh para tetangga. Mereka sudah tidur terlelap, hanya suara deras hujan yang menemani tangisnya. Emak meninggal, gumamnya. 

Pagi harinya para tetangga datang melayat, sebagian besar merasa iba. Mereka mencoba menenangkan Seruni, mencoba menghibur sebisanya. Mencoba tak membiarkan Seruni sendirian, Seruni hanya bisa menangis dan tak berkata sepatah kata. Emak meninggal, gumamnya. Dulu bapak, dan sekarang emak yang meninggal. Kini Seruni sebatang kara, keluarga emaknya jauh di Blitar dan keluarga bapaknya sudah hidup menyebar. 

Rumahnya begitu sepi, tak ada lagi yg menyiapkan air minum atau sepiring nasi untuknya. Tak ada lagi asap yang mengepul dari dapurnya, tak ada lagi yg marah ketika dia berbuat salah. Sepi, begitu sepi. Kini Seruni tinggalah sendiri. Dia duduk di emperan rumahnya sambil dilihatnya puncak Willis yang menjulang. Di ambilah kertas-kertas bekas kardus kosong dan pensil. Di tulisnya bait-bait lirik gejola hati. 

Kembang Djiwangga,
Dia mekar diantara galaunya jiwa,
Najwa... najwa...najwa..
Rahasianya tak ada yang mengira,
Menjulang bagai langit berhiaskan awan,
Aku hanya bisa menahan,
Gejolak...Keliak...
Jiwa penuh najwa,
Kembang Djiwangga,
Semerbaknya mengharumkan dunia,
Bapak yang menanamnya,
Emak memetikanya,
Kembang Djiwangga,
Dia mekar dengan tujuh warnanya,

**********
Setiap waktu kehidupan manusia berjalan, ibarat roda yang selalu terus berputar. Apa yang akan terjadi pada masa depan tidaklah bisa kita tebak adanya. Begitu pun dengan Seruni, semuanya kini telah berbeda. Semenjak kepergian orang tuanya Seruni tinggal bersama bibi dan pamannya di Blitar. Awal dari kedatangannya semua tampak menyenangkan dan baik-baik saja, sampai pada tiga bulan dia mendengar percakapan paman dan bibinya. Seruni mendengarnya sepulang mengantar jahitan-jahitan bibinya kepada para pelanggan.

"Kang, aku rasa Seruni cukup dewasa untuk bekerja. Kang tahu sendiri keluarga kita sudah susah dengan tiga anak kita, lalu ketambahan Seruni. Rumh kita sudah terlalu sempit kang," gerutu Rukmini kepada suaminya.

"Sudahlah Min, mau disuruh kerja apa Seruni mnurutku lebih baik biar saja Seruni lulus SMA dulu toh aku masih bisa bekerja lebih keras lagi," Jupri berusaha meyakinkan istrinya.

Namun Rukmini masih saja menggerutu dan nerocos ngalor-ngidul sambil menyelesaikan jahitan-jahitan dari pelanggannya, "Manjakan terus keponakanmu itu, sejak dia disini kang Jupri selalu lebih mementingkan anak yatim piatu itu. Anak pembawa sial". Serentak Jupri langsung menampar istrinya, padahal itu tak pernah dilakukannya sekalipun sebelumnya, "Min, menjaga dan merawat anak yatim piatu itu perintah Allah. Mereka itu amanat, kenapa kamu bicara seperti itu? Oleh opo anggonmu sholat lan ngaji, Min?" Muka Jupri merah menyala sambil meninggalkan ruang tengah tempat istrinya biasa menjahit. Matanya terlontar ke arah jendela teras, dilihatnya Seruni sedang mengisak bersendeku di kedua lututnya duduk lunglai di pinggiran tembok rumahnya. "Ya Allah, ampunilah istri hamba semoga Seruni tak mendengarnya," dalam hatinya Jupri menjerit. Ia berlalu pergi tak kuasa melihat keponakannya.

Semenjak kejadian itu Rukmini semakin menunjukkan kebenciannya, hampir setiap hari selalu saja ada yang salah dengan perbuatan Seruni. Seruni hampir tak pernah ada waktu untuk bermain dengan kawan-kawan sekolahnya.

"Runi, minggu ini ikut kita ke Balaikambang ya," pinta Sinta sahabatnya.
"Sin, aku ndak bisa. Aku harus membantu bik Rukmini kalau hari minggu," jawaban yang selalu sama setiap kali Sinta mengajaknya liburan.
"Kamu perlu penyegaran Run, biar otakmu enggak sedeng melulu," Sinta menimpali dengan cepatnya. Seruni hanya tertawa sambil menepuk pundak sahabatnya sejak dia kepindahannya ke Blitar.

Sesekali mereka bermain ke Makam bung Karno atau Penataran yang tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Hanya kepada Sinta seakan dia bisa tertawa walau terkadang sifat Sinta yang cenderung blak-blakan menjengkelkan juga. 

"Assalamu'alaikum, paman belum plang ya bik, " sapa Seruni sambil mencium tangan bibinya.
"Wa'alaikumsalam, pamanmu tentu masih di Pabrik. Lain kali kalau pacaran jangan dibawa kerumah ini," jawab Rukmini degan ketusnya.
"Maksud bibi?" tanya Seruni dengan herannya.
"Tuh ada nak Wahyu yang sudah menunggu dari satu jam lalu".
Seruni langsung masuk ke ruang tamu sambil keheranan, "Wahyu, Wahyu yang mana?" pikirnya dalam. 

"Sore Runi," salam wahyu begitu dia melihat Runi memasuki ruang tamu.
"Maaf membuat Wahyu lama menunggu. Ada perlu apa ya?" tanya Runi ingin tahu, masalahnya begitu aneh bagi Runi kenapa Wahyu Nugroho datang ke tempatnya. Seruni hanya mengernyitkan dahi saja.

"Wah, nyantai mbak. Jangan diberondong pertanyaan dulu. Aku hanya ingin memintamu menjadi anggota tim penulis Majalah Sekolah Kita selama ini kami mengamatimu yang sangat berpotensi. Tulisan-tulisanmu yang ringan dan enak dibaca terlebih mampu memberi motivasi. Bagaimana?" pinta Wahyu dengan begitu penuh harap.
"Maaf sebaiknya kamu meminta orang lain saja. Aku tak punya banyak waktu,"
Wahyu terus berusaha menjelaskan dan menjelaskan namun percuma saja jawaban Runi tetap saja sama. Tidak.

Seruni tetap saja menjadi gadis misterius yang selalu membuat Wahyu penasaran sejak mengenalnya. Dia ayu dan sederhana, dengan kerudungnya yang selalu menutup kepalanya. Tidak banyak bicara, ekspresinya selalu datar sehingga susah bagi orang lain membedakan dia sedang bahagia atau tidak. Usaha Wahyu untuk mendekati Seruni masih juga dilakukan, mulai dari mendekati kawan-kawanya, mendatangi tempat tinggalnya bahkan dia sering sekali menaruh buku-buku kegemaran Seruni dilaci bangkunya. Namun Seruni seperti tebing yang susah didaki, seperti segitiga bermuda di lautan yang susah diarungi. Bagi Wahyu dia yang begitu misterius justru mencuri perhatiannya. Hanya perhatiannya dan seakan dunia aneh bila tak memperhatikan keelokan parasnya.

Perhatian itu rupanya berkembang menjadi rindu, dan rindu. "Mungkinkah aku jatuh cinta padamu Seruni Widiastuti? Ah engkau dewi mantra yang menyimpan pesona," Wahyu menutup halaman agendanya.

*******
Tiga tahun Seruni tinggal bersama paman dan bibinya, baginya mereka kedua orang tuanya sekarang. Walaupun bi Rukmini terkadang sangat bengis tapi dia masih berbaik hati menampung dan memberinya makan, menyekolahkannya walau dengan ngos-ngosan dan susah payah. "Runi, kamu akan melanjutkan kuliah dimana?" pertanyaan Sinta dan kawan-kawannya bagai geledek yang menyambar ditengah terik panas matahari. "Betapa aku juga ingin bisa kuliah seperti kalian," batinnya tanpa suara.

Mungkin kuliah baginya hanya mimpi dan mungkin tak menjadi nyata, kuliah butuh biaya yang tak sedikit. Pintar saja tak cukup modal untuk bisa mencapainya, "Aku akan kerja Sin, kasihan paman dan bibi engga ada yang bantu nyari nafkah," jawabnya datar.

Dihari kelulusan itu semua sahabatnya sibuk berbicara tentang kuliah tentu bagi Seruni ia hanya bisa ikut mendengarkan tanpa bicara apa pun tentang impiannya. 

Sejak hari itu Seruni tak pernah lagi terlihat bahkan ketika Sinta dan Wahyu mengunjungi rumah pamannya di Nglegok, "Lek Pri, apakah Seruni tidak pernah kirim kabar dimana dia sekarang? surat barang kali?" tanya Wahyu mendesak.
"Sejak kelulusan itu Runi hanya pamit ingin kerja ke Jakarta namun sampai sekarang tak ada kabarnya," tentu Jupri hanya mencari alasan agar tak didesak Sinta dan Wahyu, setiap kali berkirim surat Seruni selalu mengingatkan agar tak memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.

Wahyu nampak begitu kecewa, seakan tak percaya Seruni tak pernah memberi kabar.
"Matur Nuwun lek, kalau Seruni kirim surat tolong kabari saya," pinta Wahyu. "Setidaknya berikan nomer hp saya lek," tambah Sinta. Keduanya berlalu meninggalkan Jupri dan istrinya, "Kang kenapa tak kita katakan saja kalau Seruni di Jogja, kenapa harus membohongi mereka? Kang, Seruni butuh mereka untuk mengembalikan keyakinannya," Rukmini menatap keduanya semakin menjauh. 
"Runi yang memintanya Min, dia lebih tahu apa yang dia lakukan dripada kita. Setidaknya biarkan dia jauh biar luka itu tak lagi menindasnya," Jupri kembali masuk ke rumah meninggalkan istrinya.

"Runi, bibik tahu kamu sedang bertahan sendirian nak. Bertahan demi kehidupanmu. Maafkan bibimu ini, Nak." Rukmini mendesah.

*********

Rintik hujan sore itu membasahi sepanjang wilayah Kotagede, derasnya mengalir hingga ke sudut penjuru Jogja termasuk kawasan Bantul, Imogiri dan Sleman. Tiba-tiba Jogja menjadi dingin, sedingin aliran darah di tubuhnya yang berbaring tak berdaya. 

"Kita harus melakukan amputasi pak," kata seseorang berjas putih lengkap dengan stetoskop di lehernya. Disampingnya dua orang perempuan muda sedang sibuk menyiapkan beberapa suntikan dan mengecek denyut nadi pasiennya.

"Amputasi iku opo to kang?" tanya Rukmini kepada suaminya.

"Kakinya dipotong, Min," wajah perempuan itu langsung pucat.
"Nuwun sewu nggih pak dokter, Apa tidak ada cara lainnya?" kata perempuan separuh baya itu dengan khawatirnya.
Sang dokter hanya menggeleng menandakan tak ada jalan lainnya, mengingat osteosarkoma yang dialami gadis itu sudah melewati stadium 3. 

Senyum sumringah Seruni mengalahkan segalanya, Ia seperti tak ada keluhan dengan sakit yang dideritanya. Setelah amputasi itu Seruni hidup di kursi roda, kaki kanannya telah dipotong dua tahun yang lalu. Hari harinya ia hidup menepi di pinggiran kota Jogja, ia hidup di sebuah yayasan milik dr. Ramlan yang mengoperasinya dulu. Sesekali ia melukis untuk hiburannya atau menulis melalui komputer hibahan Lestari anak pak dokter. Keluarga dr. Ramlan menyayangi Seruni bahkan sempat meminta Seruni tinggal di rumah mereka namun Seruni lebih memilih hidup di Kulon Progo ketimbang di kawasan Kotagede tempat dr. Ramlan.

Badai telah berlalu, sepertinya itu hanya sepintas meninggalkan dirinya. Setelah bapaknya lalu emaknya dan kakinya, Seruni aktif menulis sebuah cerpen untuk halaman salah satu majalah di kota Yogyakarta. Lumayan honornya bisa digunakan untuk menyambung hidupnya, selain menulis dan kadang juga melukis ia menghabiskan sisa umurnya dengan anak-anak yatim lainnya di yayasan yatim piatu Trimulyani, sebuah yayasan yang namanya itu diambil dr. Ramlan dari nama istrinya untuk menghormati dan mengenang almarhum istrinya.

********
"Hai hari ini bukankah ujian terakhirmu boy" suara Asep menggema di sepanjang sudut parkir Fakultas Kedokteran UGM. "Hemmm.... semoga di ampuni dosaku bertemu dirimu pagi ini," kelakar pemuda yang di panggil 'boy' itu.
"Huh, belagu ini anakan gunung Kawi." timpalnya tak mau kalah.
"Weits... tapi ganteng, daripada kamu. Ngakunya anak metropolitan tampang mirip suku aborigin," kelakarnya sambil berlari meninggalkan parkiran sepeda motornya. Asep berlari mengejarnya sambil terus berteriak.

"Eh bro, kebetulan nih. Dapat titipan dari pak dr. Ramlan, kelar ujian suruh nemui beliau ke rumahnya," triak Ismail pemuda asal Lampung.
"Eleh... eleh...., naon eta kang. Paling juga suruh nglamar si eneng. Geulis pisan atuh anak pak dosen teh. Cihui..., cakep," Asep nimbrung dengan bahasa khas Sunda.

"Wes..., cah mikire wadonan wae. Sep, tobat tuh skripsi gak kelar-kelar," tuding Reno sambil mendaratkan jitakan ringan di kepala Asep.
"Tumben Yu, rajin bener ikut ujian," tambah Reno.
"Iya, tahun ini aku harus bisa kelar. Mau gantiin ayah di klinik saja," kekehnya.

Suasana menegang manakala harus melewati ujian skripsi bersama dosen yang satu ini. Bukan cuma wajah dan logat bataknya yang menegangkan, namun suasana sidang skripsi pun lebih mirip sebagai terdakwa. Wahyu melewatinya dengan cukup menegangkan, walau akhirnya memang selesai dengan sedikit memaksa bertahan diruangan itu sendrian. Huh... Wajah seram pak Siregar masih terbayang.
"Fiuh.., semoga hasilnya menyenangkan," dihempaskanlah badannya di sandaran kursi perpustakaan sambil melihat dan membolak balik beberapa majalah sastra.
"Siapa yang baca tulisan kayak gini di fakultas ini? Nyasar kali ni orang," di lemparnya majalah itu ke meja sebelahnya. Diambil lagi dan dibolak-baliknya lagi, tiba-tiba matanya membelalak pada sebait tulisan puisi. "Sepertinya aku pernah membacanya" pikirnya mengingat-ingat.

Hari ini petang aku datang menghilang,
ditelan nada sumbang, 
tanpa sebuah petikan gamelan,
Aku ilalang yang terbuang,
dari sekian barisan termakan walang,

Erang.., hilang!
Hilang..., tak terbayang.
tak terjangkau juga angan melayang.

Aku akan datang,
pada tempat saat kau bimbang, 
aku akan datang,
pada saat ingatan tak lagi terbayang.
Aku hilang, 
aku pulang pada sebuah jiwa yang ku sebut
Carang ilalang.
Aku datang, belumlah hilang di terjang gelombang.

Widia.S.

Sebait puisi itu tak asing baginya, apalagi ya nama pengarangnya itu. Ahh..., benarkah dia orangnya. Perasaannya berkecamuk tak karuan, pancarian demi pencariannya bahkan saat ia hampir tak ingin lagi berharap. Tiba-tiba Tuhan seperti menunjukan sesuatu, benarkah dia Seruni? Kekasih yang tak pernah memberi pasti, bahkan sekedar berkata iya atau pun tidak tentang perasaannya.

********
Sore itu Wahyu meluncur ke kawasan Kotagede dengan sepeda motor mirip pembalap, entah berapa kecepatannya. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah pencarian pemilik nama, Widia.S.

"Bapak sudah menunggumu di ruangannya mas," seorang perempuan lima puluhan tahun mempersilahkannya memasuki ruangan dr. Ramlan. Dia keluar dan lekas kembali dengan dua gelas teh di atas nampan.
"Aku ingin kamu menggantikanku hari ini, seorang temanku dekan UNS meninggal jadi aku minta kamu yang memimpin acara penyuluhan kepada masyarakat Kulon Progo besok hari. Bagaimana sanggup kan?" katanya tegas.
"I i.., iya pak sanggup"
"Jadi anak muda itu yang tegas yang punya sikap, jangan loyo begitu. Ganteng-ganteng kok ora prigel lan teges piye," logat jawanya keluar.
Sebenarnya Wahyu masih belum percaya diri, apalagi harus jadi pembicara dihadapan banyak warga. Rasanya tiba-tiba kiamat sudah mendekat. 

Oh... malam itu konsentrasinya tetap tertuju pada pemilik nama Widia.S. Semntara ia harus menyiapkan diri menjalankan mandat sang guru besar.

********

Perjalanan ke Kulon Progo cukup lancar, dan tidak macet. Pagi tadi Wahyu sempat ke toko buku dan membeli beberapa buah buku karangan Widia.S. Bahkan ia sempat meminta alamat penulisnya kepada penerbit namun tak diberikan. Perseteruan kecil di telpon tadi pagi masih membekas ditelinga.
"Maaf pak, kami tidak memiliki data lengkap tentang tempat tinggal mbak Widia," jawab seorang publisher kepadanya. Kau selalu membuatku gila dengan keberadaanmu Runi. Pikirnya. Ia yakin puisi-puisi itu tulisan Seruni.

Penyuluhan berjalan lancar meski ini kali pertama ia menjadi pembicara. Wahyu sempat grogi ketika memberikan penyuluhan tadi, tapi akhirnya semua lancar terselesaikan. Bahkan ia mampu menjawab setiap pertanyaan warga dengan cepat dan mudah dipahami. Sepertinya dr. Ramlan memang tak salah menunjuknya sebagai pengganti. Sekitar pukul 8 malam Wahyu berniat meninggalkan Kulon Progo, namun tiba-tina ada yang memanggilnya.

"Wahyu Nugroho," Deg hatinya tiba tiba berhenti berpacu, Ia menoleh ternyata seorang Ibu memanggilnya, "dr. Wahyu Nugroho," diulangnya.
"Ah ibu, masih belum resmi kok," sanggahnya. Ia ingat sekarang, ibu itu yang tadi bertanya paling banyak. "Mampirlah ke tempat kami, kebetulan besok ada peresmian perpustakaan di yayasan kami, Nak"

"Inshaa Allah," Wahyu tak sampai hati menolaknya, akhirnya ia menginap di Yayasan sebuah Panti yatim piatu milik dr. Ramlan.

*******
Malam itu ia tak bisa tidur, ia gelisah entah apa yang membangunkan tidurnya. Sayup-sayup terdengar suara perempuan mengaji, inikan sudah hampir pagi pikirnya. Indah sekali suaranya. 

Pagi itu suasana cukup ramai dan banyak orang, Wahyu masih menyimpan rasa penasaran kenapa sebagian besar perpustakaan itu terisi oleh karangan Widia.S. Adakah ia berhubungan dengan tempat ini tanyanya sendiri. 

"Mbak Wid, hari ini kau cantik sekali," puji Lestari serius. 
"Ah, dek Tari juga Cantik, sangat anggun dengan gamis birumu," pujinya tulus. 
Lestari mendorong kursi rodanya pelan-pelan, menuju kerumunan banyak orang. Acara pembukaan peresmian Perpustakaan Mubarohkah pun disambut dengan baik oleh penghuni Yayasan Trimulyani apalagi di resmikan langsung oleh dr. Ramlan sendri.

"Semua ini berkat ide dan gagasan anak tertua saya, Widiastuti" katanya lantang.
Wahyu justru kehilangan konsentrasi dengan nama Widiastuti anak pertama dr. Ramlan. Lamunannya hanya pada seorang gadis desa pemilik nama Widiastuti. Sekilas dilihatnya dua orang perempuan muda yang sama cantiknya, oh Lestari Pramananingrum Kusumastuti. Dara cantik dari Fakultas Teknik Informatika anak pak dosen. Tapi perempuan yang satunya itu serasa pernah di kenalnya, ya pernah. Tapi dimana? Ah bukan dia itu anak pertama pak dosen, yang selalu dceritakan kepadanya beberapa hari terakhir. Batinnya menganalisa.

Sebagai ucapan syukur atas honorium beberapa bukunya, Widia menyumbangkan dan mendirikan perpustakaan Mubarokhah dan sekaligus menanganinya sendri. 

"Selamat ya mbak Wid," kecup pipi mendarat dari Lestari.
"Semua karenamu, Dek," ia tersenyum.
Sesaat dunia menjadi milik keduanya.

Acara telah selesai tinggalah ia di ruangan itu sendrian, memandangi rak demi rak buku. "Bapak Emak, aku inginkan keberadaan kalian saat ini," airmatanya menetes.
Sekilas di lihatnya bayangan emak dan bapaknya tersenyum bahagia. Sejak amputasi itu ia telah diangkat anak oleh dr. Ramlan, walau dr. Ramlan selalu memintanya untuk sekolah lagi tapi ia lebih memilih hidup dengan melukis dan menulis di Yayasan ayah angkatnya.

Terdengar seseorang masuk, pintu ditutup pelan. Bahkan nyaris tanpa gencetan. Diputarnya kursi rodanya dan tepat di depan matanya berdiri seorang pemuda. Ia hanya membisu, menatap sekelilingnya yang tiba2 berubah jadi abu-abu semuanya. Ia menjerit memekik, namun tak bersuara tangan pemuda itu terlalu cepat menutup mulutnya. Ah, Widia tak mampu berteriak. Ia menyentuh dengan kasar dan beringas, bahkan menarik ujung jilbabnya. Kenapa tak ada orang yang lewat. Kemana orang-orang? Sekilas ia mencium aroma yang menyengat, tiba-tiba ia tak sadar semua serba gelap. 

Setelah beberapa waktu lamanya ia siuman, dilihat di sekitarnya hanya sebuah ruang kamar persegi tanpa penghuni. Lama sekali baru ada seorang yang membukanya, "Apa maumu dari seorang yang cacat sepertiku," desahnya. Orang itu mendekatinya dan berkata,  "Kau selalu penuh misterius nona."

"Kalian siapa?" katanya sambil terisak.

***********

Sejenak lamanya cuma terdengar hingar bingar dan teriakan tak bersuara. Kedua anak muda yang cukup matang usianya diam membisu, bahkan nyaris mirip pemakaman. 
"Aku terlalu bodoh selama ini," pemuda itu memulai bersuara dengan menyalahkan dirinya sendiri. Ya seperti kebanyakan laki-laki yang terbiasa menyalahkan dirinya setiap kali mereka melakukan penyesalan. Di depan pemuda itu duduk seorang gadis di kursi roda dengan gaun gamis hijau dan kerudung warna senada lebih terang menutup kepalanya. Dia tampak lebih tenang dan penuh sorot kedewasaan menatap si pemuda. 

Seruni masih mengingat kejadian seminggu lalu, saat Reno yang tiba-tiba menyekapnya di ruang perpustakaan Mubarokhah. Ya sebalnya masih tersisa, kenapa mesti dengan cara seperti itu Wahyu mengatur pertemuan yang telah lama terpisah. Perasaan dongkolnya masih menguasai jiwanya, tapi tentu bukan saja itu yang membuatnya dongkol dengan calon dokter yang menunggu hari wisuda saja. Seruni masih ingat saat ia memergoki Wahyu sedang berciuman dengan Risna gadis blesteran Tionghoa beberapa tahun lalu, sejak saat itu Seruni selalu menghindari Wahyu.

"Sudahlah Yu, tak ada yang perlu dipersalahkan. Semua sudah berlalu, kabarnya kau menikah dengan Risna?" Seruni mencoba bersikap wajar meski hatinya carut marut.

Cinta yang dikuburnya dalam-dalam kini kembali lagi ke permukaan.
Wahyu hanya menggeleng dan memandangnya dengan tajam. Tatapan mata mereka bertemu dan sungguh bias-bias cinta mereka masih ada. Seruni tersandar dan segera mengalihkan pandangan sambil mengucap istiqfar berulang kali. Ia menyadari bahwa kebersamaan mereka bisa saja menimbulkan fitnah dan buruk sangka. Seruni pun minta agar segera diantar pulang ke Kulon Progo. 

****

Suasana RS Dr. Sardjito nampaknya tak sesibuk biasanya. Biasanya bnyak sekali mahasiswa fakultas kedokteran UGM bnyak sekali yang koas disana. Mungkin karena sebagian melakukan aktivitas ke daerah pelosok. RS Dr. Sardjito memang mnjadi partner resmi UGM untuk fakultas kedokteran, ya letaknya yang tepat di sebelah barat UGM fakultas kedokteran dan sebelah selatan fakultas teknik UGM. Sebuah rumah sakit yang berada di kota salak pondoh Sleman. Disanalah seorang lelaki separoh baya lebih bekerja sekaligus sebagai dokter selain aktivitasnya sebagai dosen UGM.

"dr. Ramlan ada waktu sebentar pak?" panggil pemuda berusia dua puluh enam tahunan itu sambil sedikit berlari menghampirinya. 
"Tentu, hanya sebentar. Sebelum saya masuk ruang ICU," jawabnya tegas.
"Nanti malam saya mau ke rumah pak." 
"Baiklah, saya tunggu," dr. Ramlan pun segera meninggalkannya menuju ruang ICU.

Langit sepertinya bersahabat malam ini, sangat cerah. Jalan demi jalan dilaluinya dibelakang kemudi motor hijaunya yang larinya cukup cepat. Dari tempat budhenya di Godean ia melajukan motornya melewati jalan Kenari hingga Kusumanegara bahkan hingga sampai ke jalan Janti. Entahlah. Wahyu hanya ingin menghilangkan angin penatnya sejenak sambil melewati jalanan Jogja, sebelum ia menuju sebuah kawasan di Kotagede.

Kotagede merupakan sebuah kota sejarah yg di kenal dengan kerajinan peraknya. Dulu merupakan ibukota kerjaan Mataram Islam. Disana juga terdapat sebuah kebun Raya dan Kebun binatang Gembiraloka. Atau sering kali orang akan menyebut sebuah pasar hewan yang di kenal dengan nama Pasar Legi. Ah! Tentu tujuan Wahyu bukan ke Gembiraloka atau Pasar Legi. Motornya memasuki sebuah rumah yg cukup megah yang khas dengan bangunan jawa. Rumah Joglo di kawasan jalan Nyi Pembayun yang tak begitu jauh dari SMAN 5 Yogyakarta. 

"Jadi apa maksud kedatanganmu kemari anak muda?" tanya dr. Ramlan dengan ciri suara khas kebapakannya.
"Saya ingin melamar anak angkat bapak, Widiastuti."
"Apa kamu sungguh-sungguh mencintainya?"

"Iya pak. Sangat mencintainya bahkan sebelum saya memutuskan menolak perjodohan dengan dek Lestari," Wahyu mulai menceritakan secara detail siapa Seruni Widiastuti. Tak urung si bapak itu pun manggut-manggut dan terharu dibuatnya. 

●●●●
"Nduk cah ayu, ayahmu ini cuma ndak mau awakmu sendrian terus," Ramlan mendekati Seruni dan mengelus pundaknya. Ah sungguh seperti bapak jika masih hidup. Pikirnya.
"Kamu mencintainya?"
"Tapi romo, dek Lestari juga."
"Sudahlah mbak, jika mbak Wid bahagia aku akan lebih bahagia juga," suara Lestari mengagetkan keduanya. Entah darimana datangnya tiba-tiba ia muncul di antara mereka. Sesaat ketiganya hanyut dalam suasanan haru. "Emak. Bapak" jeritan hatinya terpendam.

Siang itu kediaman pak Ramlan begitu sibuk dengan persiapan acara Midodareni. Disaat itulah Seruni ditanyakan kesanggupannya dan kesediaannya menjadi istri dr. Wahyu Nugroho. Semua hikmat semua hening mendengar jawaban dari Seruni. Menantinya dengan dag dig dug mengingat jawaban itu akan menentukan jalannya kelak. "Injih romo, kulo sampun siap. Sampun ridho menawinipun dados garwanipun kangmas Wahyu Nugroho," jawabnya tegas. Semua ketegangan pun mereda. 

"Mbak, besok siang engkau akan menjadi istri sah mas Wahyu. Aku bahagia, akhirnya kau menemukan kembali cintamu," bisik Lestari mendekat lekat2 ke tlinga Seruni. Sempat membuatnya geli dengan Lestari. Soal perbincangannya yang kadang membuatnya menahan tawa.

Seruni mengenakan sebuah kebaya jawa khas Jogja, dengan paduan warna putih. Dipasangkan dengan sebuah jarit berbatik Sidomukti, anggun, cantik dan elegan dengan kerudung putihnya. Seikat melati di tangannya, melati yang diberikan oleh bibi Rukmini. Sangat harum. 
(Tunggu aku beberapa jam lagi sayang. Kau akan jadi milikku. Selamanya)

Seruni membaca kembali pesan singkat dari ponselnya tadi pagi. Rombongan keluarga Pak Ramlan sebagai mempelai wanita siap menuju sebuah Masjid Agung di kotagede. Begitu juga keluarga besar Wahyu yang datang membawa rombongan dari Blitar tak mau kalah. 

Di halaman itu khas dengan tanaman sawo keciknya dan bangunan dengan batu2 relief masih terus dijaga keindahannya. Terdapat sebuah bedug berukuran besar yg usianya setua bangunan masjid itu. Masjid Agung Kotagede.

"Saya terima nikahnya Seruni Widiastuti binti Almarhum Ilham Khudori dengan mas kawin Surat Ar Rahman dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," suara Wahyu terdengar nyaring tegas dan jelas. Semua orang diruang Masjid itu mngucap syukur dan membaca Al fatihah. Semua orang hadir di hari itu membuat Seruni sangat bahagia. Bahagia di sepanjang hidupnya. 

Detik berjalan, jam berlalu dan hari demi hari berganti. Sudah hampir setahun pernikahan mereka dan semuanya baik baik saja. Wahyu mencintainya dengan begitu besar, selalu setia mendorong kursi rodanya kemana pun dia pergi dan bertambah sayang sejak kehamilannya tiga bulan ini. 
"Semoga dia sepertimu mas, seperti ayahnya. Menjadi lelaki yang tegas dan bijaksana,"
"Aku ingin dia selembut dan sekuat dirimu dan aqidah-aqidahmu, Dek," Wahyu mengelus perut istrinya. 

Sejak menikah Seruni dan Wahyu memilih tinggal di Kaliurang. Tak jauh dari pusat Jogja, ya mungkin hanya sekitar satu jam saja. Sedang untuk ke tempat kerjanya Wahyu memerlukan jangka setengah jam lebih cepat. Kabarnya ia pun telah membuka sebuah klinik di daerah Cangkringan bersama ketiga sahabatnya. 

Siang itu mereka menikmati liburan di Tlaga Putri. Tempatnya sejuk dan dingin. Sangat cocok untuk melepaskan stres dari jeratan pekerjaan rutin. Ya memang letaknya di bawah lereng Merapi menambah sebuah keelokan tersendiri. "Semoga dia seorang laki-laki ya, Dek. Jadi apabila aku tak menemanimu dia akan menjagamu," sebuah kecupan mendarat di kening istrinya. Di elusnya perut Seruni dan di sandarkannya kepala itu di atas gundukan hidup di dalam perut Seruni. 



●●●●
"Nuwun sewu buk, ada telepon," mbok Jaenap menyerahkan telp kepada Seruni yang sedari tadi sibuk dengan laptop dan ketikannya. Padahal sudah sering kali di ingatkan jaga kesehatan bayinya. Sepertinya dia terbiasa bekerja keras bahkan hingga kandungannya sembilan bulan. Tinggal menunggu hari.

"APA?? TAK MUNGKIN," Suara Seruni mengeras dan tiba-tiba ada yang menggocang tubuhnya. Badanya lemas dan lunglai seketika saat menerima kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan dan tak bisa di selamatkan.

Suara tahlil berkumandang dimana2, disudut sudut ruangan rumahnya yg secepat kilat dipenuhi rombongan pelayat.
"Ya Allah, ketiga kalinya Engkau mengambil orang yang hamba cintai dari sisi hamba. Pertama bapak, emak dan sekarang suamiku. Bahkan ia belum sempat mengadzani janin di perutku. Tak sempat menyentuh dan melihat buah cinta ini," Seruni masih bertafakur dalam isak tangisnya. Dihapusnya segera, dan disiapkan dadanya menahan isak airmata. Ia tahu bhwa suaminya akan lebih sulit jika ia tak melepasnya dengan ikhlas. Dengan ridho.

"Makamkan segera pak, saya sudah ikhlas," katanya memberi isyarat kepada para pelayat.

********

Seruni mngerang, menahan sakit hampir separo nafasnya. Dengan segala kekuatan ia kerahkan mendorong makhluk kecil itu keluar. Suara tangisnya begitu keras, dan betapa senangnya ketika bayi itu lahir tanpa cacat. Bayi laki-laki yang sehat, pak Ramlan langsung mengadzani bayi itu sebagai wakil almarhum ayahnya. Fathir Zakaria Nugroho, sebuah nama peninggalan Wahyu Nugroho. Ayahnya.

Sore itu Seruni diantar Lestari dan Reno menuju pemakaman Wahyu, membawa Fathir ikut serta. Tepat di hari ke 40 kematian ayah sang jabang bayi.
"Tenanglah mas, ada malaikat kecilmu yang menjagaku disini. Tenanglah. Aku akan tetap hidup membesarkannya, menjadi seorang anak yang bijak seperti ayahnya. Anak yang membanggakan orang tuanya," tetesan airmatanya mengalir saat menaburkan bunga ke atas tanah yang masih merah itu. Di ambilnya Fathir dan dipeluknya erat, diciuminya. Bayi yang masih merah tanpa satu dosa pun dan tanah kuburan yang merah, membuatnya menahan airmata di tenggorokannya. Diciuminya lagi bayi itu dengan penuh cintanya. 

Pandangannya menegak, airmatanya di keringkan dengan tisu dari Lestari. Sementara Reno hanya bisa terdiam melihat makam sahabatnya, malu rasanya bila seorang dokter spesialis spertinya harus ikut menangis juga. Bukan tak berhati, tapi ia lebih tahu tak seharusnya menangis.

Dari jauh, jauh didepan pintu pagar pemakaman. Ia meminta Lestari menghentikan kursi rodanya. Membaliknya, dan menengok ke arah pemakaman. Disana berdiri seorang laki2 dengan baju koko putih dan setelannya, melambai penuh bahagia. Tersungging senyum yang tiada pernah dilihatnya. Disampingnya ada perempuan tua dengan kerudungnya. Yang juga tersenyum ke arahnya. "Bapak, Emak," gumamnya lirih.
Tiba-tiba tangannya terasa ada yang menyentuh, hangat sekali. Di liriknya disampingnya. Berdiri seorang laki-laki matang dengan baju yang bersih putih dan aroma melati, melihatnya sekilas. Dan tersenyum hangat padanya. Mengecup dahinya dan juga bayinya. "Mas" desahnya.
"Kalian akan tetap hidup dihatiku. Selamanya." Seruni melanjutkan katanya dan memandang pemandangan hari itu dengan senyum dan semangat lebih besar. Semangat untuk Fathir, Anaknya. Hidup belum berhenti, ia terus berjalan. Manusia hanya menunggu soal giliran.

"Astaghfirullahaladzim," diucapkannya berkali-kali kalimat tersebut. Hingga membangunkan sosok disebelahnya. Seruni terisak dan menangis, memeluk dengan erat seseorang disampingnya itu.
"Mas, engkau tak akan pergi kan?"
"Sudahlah, hanya mimpi." Wahyu memeluk erat istrinya sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Menunggu kelahiran, kelahiran si jabang bayi buah cinta mereka.

Friday, 15 November 2013

Agya-Ayla, kebijakan amburadul?

Suara mesin menderu,
Gaungnya memenuhi setiap penjuru,
Ada BMW nampang disitu,
Ada Jaguar antri menunggu,
Honda Jazz tak mau tertinggal ikut nimbrung bersekutu,
Belum lagi inova maju,
Dan segudang nama lain yang mengular lugu,

Ratusan sepeda motor pun tak kalah,
diantara deretan bus dan angkutan umum yang mengantri.
Semrawut.
Seperti benang kusut.
Ruwet.
Tak terpikir mau dibikin dawet.

Ditengah kebobrokan Metropolitan yang tak terkendali,
Muncul si kembar Agya-Aylaa,
Mobil murah kata si menteri perindustrian.
Murah? Murah?
Murah untuk siapa?
Rakyat tidak butuh yang murah diatas tujuh puluh juta.
Yang nyatanya justru menambah kemacetan.

Sekian bulan berselang,
Program amburadul pun tidak nampak memberi faedah yang diharapkan.
“Ini untuk angkutan pedesaan,“ kata pak Presiden dalam sidang paripurna kabinetnya.
Pedesaan?
Ah, haruskah ku ucap kata “Sontoloyo?“
Jakarta itu desakah?
Surabaya desakah?
Medan desakah?
Ingin sekali rasanya,
ku baca pelajaran geografi tentang perbedaan desa dan kota sekali lagi.
Memastikan,
Bahwa aku salah belajar di jamannya.

Ini kebohongan publik paling besar?
Ataukah dongeng menutupi kebobrokan,
Mobil murah, mobil murah dan lagi katanya mobil murah untuk rakyat.
Rakyat yang mana?
Jika setiap pagi masih banyak yang berdesakan mengantri bus dan angkutan,
Mengantri kereta lokal yang bisingnya memecahkan genderang telinga.
Rakyat yang mana?
Bisa juga yang termasuk rakyat hanya orang-orang dengan penghasilan 30juta sebulan?
Mungkin rakyat inilah yang dianggarkan.

Minggir kalian,
Tidak perlu maju mengaku sebagai rakyat kecil didepan istana.
Rakyat kecil itu tidak pernah ada tepatnya.

Ini permainan bisnis?
Setelah kenyang dengan upeti haram ATPM Jepang,
Baru sekarang ngoceh soal angkutan pedesaan?
Langkah mundur halus biar tak kehilangan muka?
Atau,
Bisa jadi si Menteri menyalip Presiden di tikungan pedesaan?

Semrawut,
Berakhir Mawut, tak perlu dituntut.
Baunya akan tetap mulek seperti kentut.
Tut...tut...tut...tut...tut..!
Bunyi kereta butut,
Yang selayaknya di negara maju telah diganti dengan kereta listrik yang jitu.

Indonesia menjadi tempat sampah rongsokan besi dan baja,
Bangga dengan demikian?
Sifat konsumtif yang berlebihan.
Hai, tidakkah kalian tengok di luar sana.
Produsen gerobak besi justru tak laku di negaranya,
Warganya memilih jalan kaki dengan alasan kesehatan,
Memilih sepeda agar terhindar dari polusi,
Bukan lantas seperti masyarakat kita kebanyakan,
Begitu bangga pamer mobil barunya di jalan.
Terkena macet,
Ngomelnya tidak karuan.
Sudah sadarkah?
Macet itu karena siapa?
Macet bukan kesalahan penyedia jalan,
Tapi pengguna jalan yang tidak sedikit jua terpikir bagaimana mengurai kemacetan.

Bukan aneh memang,
Warga kita yang arif bijaksana
terkenal sebagai sasaran konsumen tingkat tinggi dari negara-negara maju untuk membuang rongsokannya.
Kemajuan teknologi sering kali ditebus dengan kemunduran akal mencernanya,
Indonesia bukti nyatakah?
Entah!

Tuesday, 24 September 2013

Tan Malaka

Tan Malaka, seorang sosok cerdas dari Indonesia yang kecerdasannya melampaui batas manusia dijamannya. Namun justru terlupakan, beliau disingkirkan. Tan Malaka berpendapat bahwa menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia. Tan Malaka yang bahkan dihapuskan dari deretan nama pahlawan nasional di masa orde baru namun namanya tetap menggema di Eropa. Pemikiran-pemikirannya adalah pendobrak perubahan jaman. Tetapi, sayangnya akses mengenai beliau tertutup rapat. Kalau pun terbuka tentu banyak sekali hal yang tak sama disampaikan. Setiap kali membaca kisah-kisah beliau dan pemikirannya mengenai Madilog terdecak rasa kagum luar biasa. Memang sangat berat untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh beliau dalam bukunya “Madilog“ yang konon dilarang beredar pada masa pemerintahan OrdeBaru.

Sebuah buku karya Harry Poeze (sejarahwan Belanda) yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan; Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 (terbitan Indonesia berjudul: Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia) sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.

Dalam bukunya Poeze menuliskan bahwa makam Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an. Selama 36 tahun lebih Poeze berburu jejak menyelesaikan pencariannya tentang Tan Malaka.

Jika Saja Aku Bukan Manusia

"Jika saja aku bukan manusia, akankah aku peduli apa yang manusia kerjakan. Dan apakah manusia peduli untuk apa aku diciptakan? Jika saja aku seekor kelinci atau seekor hama barang kali. Atau bahkan jika aku hanya secuil roti, akankah tetap punya esensi?"

Kalimat itu saya temukan dalam buku biruku,disana tertanggal WhampoaGarden, Winter 17 December 2009. Membolak baliknya beberapa kali dan membacanya lagi dan lagi. Lalu saya bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya ingin saya katakan? Adakah sama sepertiku yang mengalami kebingungan kala itu?

Saya tuliskan kembali catatan itu disini. Seperti ini.

Hanya karena kebaikanNYA maka terciptalah aku menjadi seorang manusia, yang secara harfiah lengkap dipinjami fisik dan sifat manusia. Dan mungkin saja aku bisa berubah tidak seperti manusia dalam perjalanannya bila semua kepemilikan semu ini diambilNya seketika. Tidakkah aku sekali saja berpikir jikalau aku terlahir bukan menjadi manusia, menjadi kelinci atau lumba-lumba misalnya bahkan bisa jadi hanya menjadi sebatang rumput. Lalu manakah yang harus aku elukan dan aku bangga-banggakan? Jika ternyata aku hanya manusia yang terjadi karena pinjaman. Jika kau juga bukan manusia masihkah engkau punya sisi manusiawi? Sedang manusia kini telah lama kehilangan esensi kemanusiaannya sendiri. Tapi mungkin bukan kamu, jadi tak perlu kau pikir apa kataku.

Qiblat dan Kaidah Tangan Kanan

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Tulisan ini hanyalah hasil sebuah revisi dan rangkuman dari apa yang saya baca tanpa sedikit pun mengurangi isi kandungannya. Semoga mampu memberikan gambaran dan manfaat kepada siapa pun pembacanya.
Bissmillahir Rohmanir Rohim..!
"Kenapa sholat menghadap menghadap arah qiblat (Ka'bah)?"
Tentu anda pernah mendengar pertanyaan ini atau justru anda sendiri yang bertanya. Namun, anda masih belum menemukan jawaban atau engga mencari jawaban. Silahkan dibaca sampai selesai untuk menemukan jawaban dari pertanyaan di atas.
" Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah
rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia." (QS. Ali Imran: 96)
Kenapa harus sholat menghadap qiblat, juga
kenapa harus ada Ibadah Thawaf, Ini juga sering jadi perenungan manusia, seperti
ini :
1. Ketika mempelajari Kaidah Tangan Kanan (Hukum  Agama ), bahwa putaran energi kalau bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, maka arah energi akan naik ke atas akan naik ke atas. Arah putaran ditunjukkan arah ke 4   jari, dan arah ke atas ditunjukkan oleh Arah Jempol. Ini benar-benar suatu peristiwa yang unik dan aneh .
2. Pola ibadah thawaf dimana bergerak dengan jalan berputar harus berlawanan
jarum jam, ini menimbulkan. pertanyaan, kenapa tidak boleh terbalik arah, searah
jarum jam misalnya.
3. Kenapa Sholat harus menghadap Kiblat,.termasuk dianjurkan berdoa dan pemakaman menghadap qiblat.
4. Kenapa Sholat Di Masjidil Haram menurut Hadist nilainya 100.000 kali dari di tempat sendiri.
5. Singgasana Tuhan ada di Langit Tertinggi
Perenungan Sintesa ( Ilmu Umum ), menurut konsep ilmiah mengenai hubungan sholat dan keberadaan Ka'bah sebagai qiblat umat muslim.
1. Energi Solat dan Doa dari individu atau jamaah seluruh dunia terkumpul memiliki
kekuatan supernatural danbterakumulasi di Kabah setiap saat, karena Bumi berputar
sehingga solat dari seluruh
Dunia tidak terhenti dalam 24jam, misal orang Bandung solat Dzuhur, beberapa menit
kemudian orang Jakarta Dzuhur, beberapa menit kemudian Serang Dzuhur, Lampung dan seterusnya.
Belum selesai Dzuhur di India Pakistan, di Makasar sudah.mulai Ashar dan seterusnya.
Pada saat Dzuhur di Jakarta di.London Sholat Subuh dan seterusnya 24 jam, tiap detik, menit ajam  seterusnya.
Jadi, sholatnya umat muslim akan terus continue/berlanjutan dari muslim satu ke muslim lainnya yang berbeda tempat. Jadi, setiap waktu di dunia ini selalu ada yang melakukan ibadah sholat.
2. Energi yang terakumulasi, berlapis dan bertumpuk akan diputar dengan generator
orang-orang yang bertawaf yang berputar secara berlawanan arah jarum jam yang dilakukan jamaah Makah sekitarnya dan Jamaah Umroh / Haji。
3. Maka menurut implikasi hukum Kaidah Tangan Kanan  bahwa Energi yang terkumpul
akan diputar dengan Tawaf  dan hasilnya kumpulan energi tadi arahnya akan ke atas
MENUJU LANGIT. 


Jadi Sedikit terjawab bahwa energi itu tidak berhenti di Kabah namun semuanya naik ke Langit. Sebagai satu cerobong yang di mulai dari Kabah. Menuju Langit mana atau koordinat mana itu masih belum nyampe pikiran saya. Yang jelas pasti Tuhan telah
membuat saluran agar sholat dan doa dalam bentuk energi tadi agar sampai Ke Hadirat
Nya. Jadi selama 24 Jam sehari terpancar cerobong Energi yang terfokus naik ke atas
Langit. Selamanya sampai tidak ada manusia yang solat dan tawaf, maka ketika tidak ada lagi manusia yang sholat dan tawaf kiamatlah dunia dan isinya.
Kesimpulan
1. Solat dan Doa, diyakini akan sampai ke langit menuju Singgasana Tuhan selama
memenuhi kira-kira persyaratan uraian di atas dengan sintesa (gabungan/ Ekstrasi) renungan hukum agama dan hukum alam,
karena dua-duanya ciptaan Tuhan juga. Jadi hendaknya ilmuwan dan agamawan bersinergi/ saling mendukung untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas dan
pemahaman agama yang dapat diterima lahir batin.
2. Memantapkan kita dalam beribadah solat khususnya dan menggiatkan diri untuk selalu
on-line 24 jam dengan Tuhan, sehingga jiwa akan selalu terjaga dan membuahkan
segala jenis kebaikan yang dilakukan dengan senang hati (ikhlas).
3. Terjawablah jika sholat itu tidak menyembah batu (Ka'bah) seperti yang
dituduhkan kaum orientalis, tapi menggunakan perangkat alam untuk menyatukan energi solat dan doa untuk
mencapai Tuhan dengan upaya natural manusia.
4. Tuhan Maha Pandai, Maha Besar dan Maha Segalanya.
Ini sekedar renungan dan analisa , semoga saja mampu memotivasi kita dan para
Pakar untuk memicu pemikiran, penelitian lebih dalam untuk lebih mempertebal keimanan dan menjadi saksi bahwa Tuhan
menciptakan semesta dengan penuh kesempurnaan tidak dengan main-main (asal jadi) sehingga makin yakin dan cinta pada Allah Azza wa Jalla. Mungkin renungan ini
berlebihan dan berfantasi, tapi sedikitnya ini pendekatan yang mampu menjawab pertanyaan sebagaimana di atas dan tidak
bertentangan dengan Kitab Suci dan Hadist bahkan mendukungnya.
Lalu, kenapa harus Ka'bah?! Kenapa berpusat di Mekkah tidak ti tempat lainnya? Let's check it up..!
Ramalan Untuk Memastikan Bahwa Ka’bah Dan Kiamat hanya Allah Azza wa Jalla Yang Tahu :
1. Ka’bah Akan Hancur Dengan Sendirinya (Terbukti dengan ditenggelamkannya
satu pasukan yang akan menyerang ka’bah suatu hari nanti)
2. Jika Pusat Bumi Bergeser Akan Banyak Kekacauan (seperti Musim Yang tidak Mengenal waktu).
3. Kiamat Akan Cepat Terjadi Jika Sholat Sudah Ditinggalkan.
4. Anda Pasti Juga pernah mendengar jika Siapa Yang Meninggalkan sholat berar telah merobohkan Agama. Sholat adalah tiangnya agama.
Wawllohu'alam bisowab. Wassalamu'alaikum..!!

Tuesday, 17 September 2013

“Saya“ (Sebuah Proses Yang Panjang) part 1

Saya menyimpan ini untuk waktu yang lama, berpikir ulang untuk menuliskannya. Apakah layak dibaca? Apakah pantas dijadikan pelajaran? Tapi inilah titik perubahan hidup saya. Hijab.

Hijab.
Rasanya dari dulu sebuah kata yang asing bagi saya, sebab di dalam keluarga memang tidak ada mengenakannya. Itu yang pertama. Kedua kalaupun dulu pergi mengaji ya hanya sebatas dikenakan kerudung asal-asalan untuk menutup kepala. Di keluarga besar saya hanya ada 2 orang sosok perempuan, nenek dan ibu. Selebihnya mereka adalah laki-laki. Ibu saya pun perempuan satu-satunya dari 5 bersaudara. Ini adalah awal yang mempengaruhi saya justru enggan bersosialisasi dengan tetangga. Bermain dengan sesama anak perempuan yang sebaya, sangat jarang. Kalaupun bermain dengan anak-anak perempuan justru yang usianya 3 tahun lebih diatas saya. Inilah bibit-bibit ketomboian yang saya rasakan. Sebab ibu memang kurang memperhatikan bagaimana perkembangan pola pikir saya. Sebagai orang tua muda, mereka lebih berpikir untuk memenuhi kebutuhan fisik. Walau pun dari keluarga biasa-biasa namun sejak kecil saya tidak merasa kekurangan soal kebutuhan fisik. Bahkan saya merasa memiliki fasilitas yang lebih baik dari anak-anak disekitar saya.
Lambat laun kehidupan berubah. Saya merasa sesuatu yang aneh dengan kepribadian saya sendiri. Terkadang suka ngomong yang saya sendiri seperti baru pertama kali mengucapkannya, setelahnya saya bahkan tidak ingat dan tidak tahu apa yang baru saja saya katakan. Sekitar usia 5,5 saya mengalami typus yang parah. Rambut rontok, pucat, kurus sekali dan bahkan mulut tidak bisa dibuka untuk makan saja harus bubur yang sangat halus dan minum dengan memakai sedotan sehingga orang tua pun memutuskan menunda untuk memasukan saya ke sekolah.
Sejak di kelas 1 SD saya sudah merasakan sesuatu yang tidak biasa dialami anak seusianya. Katakanlah kecerdasan dan pola pikir itu melebihi anak seusianya, bahkan termasuk tingkah lakunya. Rasa ingin tahu dan penasarannya. Saking penasarannya dengan cerita tetangga mengenai hantu saya pernah diam-diam keluar rumah tengah malam, pergi ke makam tua di sebelah desa yang ditandai sebuah pohon beringin besar disana. Sejak dari SD saya tergolong tidak menyukai pergaulan, menyendiri dan bercakap dengan beberapa saja. Maka, tidak jarang saya dijauhi. Bahkan hampir tidak memiliki teman.
Menginjak kelas 3 SD mulai sedikit lebih terbuka. Apakah saya autis? Barang benar kali demikian. Namun, saya tidak harus pusing dengan istilah orang intelek ini. Apakah ada pengaruhnya dari orang tua dan lingkungan soal saya lebih suka menarik diri dan berpikir sendiri? Tidak. Sebab itu berasal dari diri saya sendiri, bahwa saya tidak menemukan kecocokan dengan mereka. Rasanya seperti tidak ada yang nyambung diajak bicara, mereka bilang saya aneh. Apa yang saya bicarakan katanya tidak paham. Ketika anak-anak seusia saya lebih suka berbicara tentang kartun atau lagu-lagu Eno Lerian maka saya lebih suka mengajaknya berbicara bahwa tumbuhan itu bernyawa. Atau sesekali saya ajak mengamati pojok-pojok sekolah yang dianggap seram. Sebab mereka tidak sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Sejak itu saya lebih suka menuliskan apa yang saya pikirkan, yang saya ragukan dan saya rasakan. Entah itu nyata atau sekedar imajinasi saya acap kali menemui hal janggal yang menurut teman saya sebenarnya tidak ada apa-apa.
Misalnya ketika hendak mengatakan, “Jangan kesana nanti kamu jatuh.“ maka hal ini justru dianggap ngaco. Padahal itu juga keluar tanpa saya ingin mengatakan. Perlakuan berbeda dari teman sebaya yang menganggap saya pribadi yang aneh justru membuat saya merasa lebih sombong berpikiran bahwa mereka tidak mampu mencapai apa yang saya pikirkan. Saya merasa bahwa saya berbeda, tetapi saya tidak berani bercerita kepada siapa saja. Saya mencari tahu dan memikirkannya sendiri.
Saya masih ingat jelas ketika saya harus jatuh menerima rangking 2 pada caturwulan kedua kelas 3 SD saya merasa bahwa teman saya yang peringkat 1 tidak layak. Sebuah sifat iri muncul dengan sangat kuat, bagaimana bisa saya yang dari kelas 1 tidak pernah terjatuh dari rangking 1 dikalahkan oleh anak sepertinya. Pikiran saya menganggap bahwa saya lebih layak. I am the winner not him, bagaimana dia yang menyontek dan jarang masuk justru mendapat yang lebih baik dari saya? Dan akhirnya seperti dendam kesumat, saya harus bisa menjadi yang terbaik lagi di kelas dan di sekolah. Demi melancarkan dendam itu, saya menjadi sangat sinis. Siapapun yang bertanya atau ingin menyontek PR tidak akan mendapat apa-apa. Kalau pun saya memberi jawaban maka yang keluar ialah jawaban dipalsukan, sehingga ketika menjelang ujian ada yang menyontek pekerjaan saya maka jawabnnya akan berbeda jauh dengan milik saya. “Enak saja aku yang belajar mati-matian kamu tinggal nyontek dan dapat rangking 1“. Begitulah yang saya pikirkan dulu. Menjadi juara kelas dianggap sebagai suatu keberhasilan akademis, hingga akhirnya rangking itu tetap setia dengan saya hingga kelas 3 SMP tanpa jatuh sekalipun pada peringkat 2. Pernah sekali waktu pas kelas 1 SMP catur wulan pertama, ada 2 orang rangking 1 dikelas. Saya dan teman saya, Mer. Saya menganggapnya saingan dan harus dikalahkan. Bagaimana pun saya tidak boleh menjadi no 2 dikelas.
Saya menulis ini bukan untuk berbangga merasa pintar dari orok, bukan. Namun, terlebih mengingatkan saya bahwa saya pernah menjadi pribadi yang sangat sombong terhadap ilmu pengetahuan yang dangkal. Merasa paling layak dan pintar, apalagi di dukung beasiswa prestasi dari kabupaten sejak kelas 4 SD sampai kelas 3 SMP. Hal inilah yang justru kala itu membuat saya buta, dan memandang bahwa yang dibawah saya itu bodoh. Sebab dalam pikiran saya tercipta sebuah pemikiran secara tidak sadar, bagaimana pun saya harus memimpin mereka. Saya tidak boleh berada dibelakang.
Kebiasaan suka berbicara (red. Presentasi), menulis dan membaca itu sudah sejak SD adanya. Mengisi mading sekolah, mengikuti lomba antar sekolah ataupun sebagai perwakilan murid teladan. Dan, yang jelas saya ingat ialah saya paling suka mengkritik apa yang disampaikan guru di kelas. Apalagi jika itu guru ganti yang hanya mewakili. Pernah sekali ingin berbuat iseng dengan 3 orang kawan saya, konon katanya kalau dibawakan tanah kuburan dan di taruh di kelas semua bakal kesurupan. Saya tidak percaya, dan hanya ingin membuktikan. Dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa, maka jika ada orang tua yang menakuti anaknya bahwa pemakaman itu menyeramkan sesungguhnya sama saja mengajari anaknya berbohong. Manusia lebih menyeramkan dari tanah kuburan.
Ketika anak-anak SD lebih suka membaca cerita kancil mencuri timun maka bacaan saya justru serat sastra Jawa milik mbah kakung. Ketika anak-anak lebih suka mendengarkan dongeng timun emas saya lebih tertarik mendengar bagaimana cerita mbah kakung tentang kisah Belanda dan tentara Jepang. Ketika teman-teman saya ingin pergi berlibur ke Kebun Binatang Surabaya saya justru ingin ke Papua seperti kakek (red. Kakak dari mbah Putri) yang dulu ikut dalam upaya pembebasan Irian Barat. Bahkan sampai detik ini saya terus menyimpan keinginan untuk bisa tinggal di Papua. Saya justru lebih tertarik bercerita dan mendengarkan cerita dari mbah kakung dan teman-temannya. Karena beliau juga saya lancar membaca dan menulis huruf jawa sejak kelas 5 SD tetapi justru tidak setelah dewasa. Tepatnya setelah saya menjadi lebih tua. Sejak di SD saya tidak menyukai pelajaran PAI, pertama karena gurunya yang menurut saya suka pilih kasih dan menghukum jika tidak hafal atau menyuruh anak didiknya berdiri di kelas lalu di pukul dengan “juding“ (Tongkat untuk membaca di papan tulis yang dibuat dari bambu).
Saya sering beralasan kalau jam PAI dan menurut saya beliau lebih cocok menjadi tukang dongeng untuk kami dengan menceritakan kisah para nabi.
Sediam-diamnya saya menarik pergaulan menjelang masa puber tetap saja akhirnya bergaul juga. Saya yang biasanya diam, berbalik arah. Seakan mendapat angin segar untuk bergaul sesuka hatinya. Masa puber haruslah menjadi catatan bagi setiap orang tua dan calon orang tua bahwasanya pada masa itu mereka justru butuh perhatian extra. Tidak malah dibiarkan karena dianggap menuju dewasa, justru masa itulah pengawasan diperlukan. Apakah si anak bergaul dengan baik atau mengikuti arus kenakalan remaja.
Sejak kecil saya hampir tidak pernah dilarang oleh orang tua, bagaimana saya mengatur kegiatan di sekolah atau pun di luar sekolah. Masa SMP adalah senang-senangnya membentuk penampilan. Mengikuti gaya sinetron atau justru memiliki style sendiri, dan bagi saya tampil setengah tomboi itu jauh lebih nyaman. Tak urung ketika saya tak lagi memakai baju perempuan ibu mulai cerewet dan memilih-milih mode baju remaja terbaru. Sebagai catatan ibu selalu update perihal mode pakaian. Justru pada masa itu saya merasakan sebagai percobaan ibu dalam memilih mode. Suka tak suka ketika ibu harus memakai baju A maka ialah A yang dipakai, saya paham maksudnya agar saya tidak jatuh lebih dalam berdandan seperti laki-laki. Dandanan boleh sedikit memang mirip perempuan, tapi naluri mengatakan bahwa saya tidak bisa terus demikian. Jadwal les sudah diatur setiap hari, bahkan hampir tidak ada waktu untuk bermain. Tapi apa sich yang tidak bisa dimainkan? Hati manusia saja sangat bisa dimainkan, apalagi hanya jadwal les.
Kala itu saya menyampaikan niat untuk mengikuti beladiri seperti yang ditekuni kedua om saya, untuk ukuran anak SMP tentu orang tua saya tidak langsung mengiyakan apalagi saya seorang perempuan. Segala jurus dilakukan untuk mendapat ijin, alhasil setiap minggu malam saya dibolehkan mengikuti latihan beladiri selepas maghrib hingga jam 10.00 malam. Kadang-kadang berlatih ke luar kota atau pelatih dari luar kota yang datang. Kalau sudah begitu bisa sampai jam 12 atau  1 malam baru pulang, banyak hal yang saya dapat disana. Selain belajar jurus dan tendangan, tapi juga belajar bagaimana kita harus membentuk kepribadian.
Lantas apakah pribadi saya terbentuk disana? TIDAK.
Justru saya semakin lama semakin menyadari bahwa hal aneh dalam diri saya semakin besar. Jika tidak mau dikatakan plin plan maka katakanlah saya berkepribadian ganda. Disisi lain saya bisa sangat baik dihadapan orang, namun disisi lain saya memiliki pribadi yang sangat tengil. Diam-diam tanpa sepengetahuan om saya sebagai pelatih beladiri, saya sering kali merasa jadi ga mempan kalau dipukul orang. Suka nyobain di luar arena pelatihan atau pertandingan.  Saya merasa bahwa meski perempuan bisa kok ngepalin tangan dan melawan.
Saya punya kebiasaan buruk masa itu yaitu senang melihat orang tawuran. Pada masa kelas 3 SMP itulah jiwa itu berkembang. Suka tawuran. Baik dengan sesama pelajar SMP satu sekolah maupun beda sekolah maupun anak-anak tidak sekolah, melompati pagar untuk sekedar kabur di jam kosong juga sering dikerjakan. Lalu bagaimana bisa saya masih menerima beasiswa prestasi di kelas 3 padahal saya sudah sering bikin onar? Maka inilah yang saya sebut kepribadian ganda. Tidak ada 1 orang guru dan staff pun yang tahu saya bagian anak-anak yang sering membikin ulah merusak pagar. Jaman itu saya memiliki teman satu geng, meski tidak semuanya suka tawuran seperti saya. Tapi mereka ibarat teman nongkrong di kelas, di kantin, di perpus. Selebihnya tidak ada ikatan lainnya, teman-teman saya justru lebih banyak anak-anak di luar sekolah. Dari merekalah saya belajar dan menjadi lebih tengil dari teman saya sendiri.
Ada satu teman sekelas saya, namanya Hari. Anaknya memang rada seenaknya dan suka godain cewek-cewek. Pernah sekali saya dan Dew memukulnya sebagai upah atas omongannya yang tidak senonoh. Kepalanya dipepetkan ke nako jendela, kemudian kami tonjok tepat di hidungnya dengan bergantian. Sedang kawan saya yang lain menjaga pintu kalau ada yang datang. Setidaknya cukup manjur untuk membuatnya jera tidak mengganggu lagi.
Melepas masa puber dan beranjak menjadi bagian putih abu-abu kesannya sangat menyenangkan. Jika biasanya anak-anak SMA menganggap kami sebagai anak kecil sekarang merasa sejajar secara tingkatan sekolah formal. Kebandelan makin merajalela, namun di sekolah saya tetaplah murid sekolah yang sekali-sekali saja melanggar peraturan. Beranjak gede mulai terpengaruhi dengan teman-teman di luar sekolah. Nongkrong selepas sekolah rasanya menjadi tujuan wajib. Melepas baju seragam dan menggantinya dengan baju biasa yang sudah dipersiapkan. Makin hari makin bandel, mula-mula hanya sekedar mencoba sebatang rokok lama-lama menjadi dua batang. Pertama batuk-batuk tapi tidak lama menjadi kebiasaan. Hanya saja (katakanlah berkepribadian ganda) semuanya di lakukan di luar jam sekolah, walau demikian tetap saja mempengaruhi pelajaran akademis. Hari demi hari nilai raport anjlok. Jika biasanya saya tidak mau dikalahkan kini saya harus merasa puas hanya berada pada 5 besar. Kenapa dari tadi saya menyebutkan prestasi akademis? Sebab itulah dulu yang menjadi patokan, bentuk laporan tanggungjawab saya sebagai anak sekolah kepada orang tua. Orang tua memberi kebebasan berkegiatan extra ataupun di luar lingkungan sekolah selama itu positif, sepositif apapun laporan yang kita buat tetap saja lebih pintar yang membuat laporan. Maka inilah yang ingin saya tekankan, bahwa Kebebasan dari orang tua bukan berarti kita boleh berbuat apa saja sesukanya tetapi kebebasan itu harus tetap bertanggungjawab tanpa menghianati kepercayaan orang tua. Dan bagi orang tua memberikan kebebasan bukanlah melepas anak-anak seenaknya tanpa di kontrol ataupun di lihat apa yang anaknya kerjakan di luar pengawasannya.
Lalu apakah ini salah orang tua sehingga saya menjadi sangat bandel dan tidak terkontrol kala itu? Bukan.
Orang tua sudah berusaha memberi yabg terbaik untuk saya. Tetapi saya secara sadar menyalahgunakannya, mengibuli mereka apalagi saya tinggal berjauhan. Ini menjadi kesempatan. Jadi untuk orang tua, berikanlah pengawasan extra bagi yang anaknya kost atau tinggal bersama saudara/kakek nenek.
Jika kelas satu SMA saya hanya bermain rokok namun tidak di kelas 2. Saya mulai menghisap ganja dan sejenisnya. Menggunakan putaw sesekali. Dan sesuatu yang memang mengejutkan tidak ada lingkungan sekolah yang menemukan saya sedang memakai. Yang sebagian mereka rasa mungkin saya menjadi lebih pendiam dan menarik diri dari keributan bersama teman-teman sebelumnya. Ya, sejak saat itu saya resmi menjadi pemakai hingga akhir kelas 2.
Belum sempat ketergantungan dengan parah akhirnya entah siapa yang mengingatkan saya sadar juga. Bahwa saya tidak boleh begini, harus bisa mengangkat diri lagi. Akhirnya saya tinggalkan teman-teman saya yang pemakai. Saya konsentrasi dengan sekolah. Harus bisa naik kelas sesuai program yang saya inginkan, Bahasa dan Sastra.
Akhirnya saya masuk ke jurusan Bahasa dan Sastra sesuai keinginan saya yang memang menyukai sastra. Sifat bandel masih kambuh kadang-kadang saja. Sebagai catatan yang lupa saya tuliskan saya adalah anggota aktif extra teater di sekolah sekaligus sebagai ketuanya. Hal ini menjadi kesempatan bagi saya untuk sering keluar rumah selepas jam sekolah. Disana saya mulai mendapatkan pengetahuan baru, belajar menjadi lebih dewasa di lingkungannya. Namun tetap liar diluar organisasi. Sekali lagi saya katakan bahwa saya pemilik kepribadian ganda. Dan saya menyadarinya.
Adakah bibit-bibit psikopat juga disana? Barangkali ya hehehehe...
Ketika berada dalam kesendirian saya sering sekali terjebak di dalam dua “aku“. Apakah yang saya kerjakan benar atau salah? Pertentangan batin selalu ada. Pada masa itu saya sering sekali merasa ingin menyakiti orang 10x lipat lebih sadis ketika mereka menyakiti saya. Apapun caranya, mereka harus merasakan yang lebih parah dari apa yang mereka perbuat. Jika tak langsung saya yang mengerjakan maka saya membuatnya sakit dengan orang lain. Disisi lain saya tetaplah pelajar SMA ternama di kotanya yang tugasnya ialah belajar menyiapkan ujian akhir nasional. Menjelang ujian nasional persiapan keras saya lakukan, mengingat 2 tahun sudah saya sekolah asal-asalan. Lebih menikmati urusan di luar jam sekolah. Maka saat itu adalah waktu yang pas untuk cuek dengan segala persoalan di luar menyiapkan ujian.
Teman-teman yang biasanya datang ke rumah dan jalan beramai-ramai mulai menjauh dan suka mencibir. “Dul, gaya belajar terus sekarang. Keluar yuk.“ Maka jawabannya hanya saya masuk kamar atau membuka buku pelajaran. Kalau biasanya saya lebih suka duduk gitaran di teras bersama mereka, main catur atau sekedar bersenda gurau maka saya sendiri yang memutuskan untuk tidak menemui mereka. Walau terkadang ketika saya ingin sekali memakai putaw dan tidak ada rasanya sangat menyiksa. Ujian selesai dengan hasil 3 besar. Tapi tidak ada kepuasan disana, kenapa hanya beda 0,4 saja saya harus tertinggal? Dan terlebih cuma dikalahkan dengan anak yabg suka ngacir, membolos dan menyontek saja dikelas. Bahkan jika sama-sama ditanya secara lisan, saya yakin saya jauh lebih pintar. Sombong. Kesombongan itu tidak akan bertahan lama. Sesungguhan kepintaran yang kita miliki bukanlah sekali-kali untuk dirasai bahwa kita pintar. Pintar itu mampu membawa diri. Andai saja kala itu saya juga berpikir demikian ya.
Semua siswa berencana ingin melanjutkan kuliah. Saya mengajukan beberapa lembar formulir beasiswa untuk jurusan pariwisata dan Sastra di Jogja. Tes demi tes dilakukan, setelah salah satu kampus akademi Pariwisata yang saya inginkan mengiyakan beasiswa ternyata orang tua tidak menyetujuinya. Perdebatan pun tak bisa dihindari. Berkas-berkas beasiswa saya bakar sambil ditangisi. Dilain pihak secara bersamaan beberapa kampus lokal di Kediri, Malang dan Surabaya juga melayangkan surat keterangan memperoleh beasiswa berdasar hasil ujian nasional dan rekap catatan prestasi yang ada. Syarat utama ialah bahasa Inggris untuk jurusan sastra Inggris yang menjadi pilihan kedua saya. Akhirnya saya memutuskan mengambil salah satunya dari Kampus ternama di Surabaya. Tidak berapa lama disana. Kambuh lagi karena pergaulan. Dan itu justru semakin parah. Hobi menggunung semakin menggila dan tidak tertahan, kuliah berantakan, masalah narkotika tidak lagi tertasi. Dan akhrinya DO. Kemana saya yang dulu rajin?

Pada masa itulah pencarian dimulai. Saya menjadi sangat ragu dengan apa yang selama ini saya pelajari. Islam. Benarkah Islam adalah agama yang damai, jika ternyata biang kerusuhan justru ialah muslim? Bom Bali yang sangat segar dalam ingatan saya kala itu. What's the real freedom?
Perjalanan demi perjalanan dimulai, tanpa sesuatu yang jelas mencarinya kemana. Luntang lantung dengan pergaulan yang semakin tidak jelas. Peran orang tua tidak lagi diindahkan sama sekali. Bahkan bisa jadi dianggap tidak ada.
Saya ingin sekali menuliskan ini, namun dengan sangat hati-hati. Saya menyadari bahwa membicarakan keyakinan adalah suatu hal yang sangat sensitif. Dari salah seorang kawan asal Bali, sebut saja Blih Made  saya mempelajari bagaimana menjadi umat hindu yang baik. Segalanya diberitahukan bahwa hukum karmapale itu nyata, Sang Hyang Widi Wase itu ada. Tak lama saya berlari lagi.
Jatuhlah pada seorang pemuka nasrani, katolik. Segala kebesaran Yesus diceritakannya. Di sadarkannyalah bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya, saya diajak membaca injil setiap hari agar hati semakin tenang. Agar kebodohan saya tidak terulang. Tapi hati semakin ragu dengan kata Tuhan.
Sampai ujungnya perhelatan itu sampailah pada ajaran welas asih. Yang menyatakan kosong ialah isi dan isi ialah kosong. Perenungan demi perenungan saya jalani menurut kata guru saya. Menyerahakan untuh kepada sang penguasa, bahwa hidup manusia akan mengalami reinkarnasi nantinya.
Gejolak itu tidak hanya sampai disana. Bahkan saya merasa hampir-hampir gila. Atau memang sudah gila? Perhelatan batin demi batin terus terjadi hingga pada masanya saya menyesal mengenal Tuhan. Saya percaya bahwa kebaikan manusia sudah cukup untuk segalanya. Tuhan hanya sesuatu yang khayal dari buah pikiran manusia. Buku-buku filsafat mulai memenuhi otak saya, seperti diinstal ulang rasanya. Saya tidak percaya dengan adanya Tuhan, dan agama ialah sumber musibah dan kekacauan. Saya tidak peduli apakah orang menganggap bahwa Atheis itu dosa, dosa menurut kaca mata siapa? Bukankah kebenaran itu relatif menurut sudut pandang mata siapa, benar menurut saya belum tentu benar menurut orang lain. Saya menjadi begitu sensitif dan kritis jika ada yang mengusik soal keyakinan. Hingga sampai akhirnya saya memutuskan meninggalkan semua yang ada. Tentang pencarian dan kehidupan. Berbagai persoalan dengan teman dan keluarga cukup banyak, saya hanya butuh ketenangan kala itu. Maka ketika kawan saya menawari pergi ke Luar negeri saya setujui sekalipun sebagai migran worker. Semua saya tinggalkan. Dengan segala upaya, tapi ternyata saya tak bisa karena tes kesehatan tidak mengiyakan.
Sampailah perjalanan itu hanya jadi pengangguran dan tak tahu mesti bagaimana. Lontang lantung tidak jelas, Ya barangkali akal sudah tidak berfungsi. Akhirnya saya masuk rehabilitasi, melakukan pengobatan dari obat-obatan. Narkotika memang seperti gelas kaca, ia tembus pandang menawarkan segarnya anggur atau bir didalamnya. Menyejukan sejenak kemudian menusuknya perlahan, jika pecah maka pecahannya akan melukai siapa saja. Maka bagi setiap orang tua hendaklah selalu memperhatikan dan mengawasi perubahan-perubahan anaknya. Jangan lantas asal percaya bahwa anak saya baik-baik saja.
*Bagaimana Proses saya hingga memutuskan untuk berhijab? Nanti saya lanjutkan. Tetap setia kepada proses. Dijaga api lilinnya jangan sampai terbakar.

Saturday, 14 September 2013

Benarkah kebenaran di balik Relativisme Epistemologis bisa dipatahkan?

Pada pertengahan abad ke 19, seorang tokoh fisika Werner Heisenberg melontarkan prinsip ketidakpastian (principle of uncertainty). Bersama Erwin Schrodinger merumuskan mekanika yang lebih sempurna dari Mekanika Newton yang disebut Mekanika Kwantum (Mekanika Gelombang). Mekanika Newton sendiri memerlukan penyempurnaan, khususnya apabila digunakan membahas partikel-partikel pada skala atom. Namun bukan soal ini yang ingin saya tekankan, Ilmu pengetahuan diatas pun didapat bukan dengan gampang. “Asal Nyomot“. Tetapi melalui tahapan-tahapan dan banyak sekali penelitian. Yang perlu kita garis bawahi ialah ilmu pengetahuan itu berjalan dan beekembang, tidak statis. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak selalu pasti, ia selalu berkembang dan bisa jadi dipatahkan penemuannya oleh penemu dimasa yang akan datang.

Ketidakpastian ini melahirkan paham pragmatisme. Selain itu kenyataan sejarah menunjukkan bahwa suatu pernyataan ilmiah pada suatu masa yang dianggap benar dapat dipatahkan dilain waktu, akibat dari perkembangan ilmu itu sendiri yang menemukan kebenaran yang lebih reliable. Jadi menurut penganut paham Pragmatisme kebenaran dilihat dari perspektif waktu. Misalnya, jika pada suatu waktu seseorang menemukan fakta-fakta yang mendukung hipotesis A maka tidak berarti hipotesis tersebut diterima selamanya. Bisa jadi di waktu selanjutnya ditemukan fakta yang justru mematahkan hipotesis A. Bukankah jika demikian kebenaran hipitesis itu bersifat temporal? Artinya hanya dianggap benar selama belum ditemukan fakta yang menolak kebenarannya. Jika kelak kebenaran hipotesis itu gugur, maka dianggap tidak terlalu penting selama ia bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Maka seorang pragmatis mengukur kebenaran dengan kriteria sejauh mana pernyataan itu memiliki kegunaan. Kebenaran diukur dari fungsionalitas-nya? Jadi bagi pragmatis selama memberi manfaat maka dianggap benar, dan ketika tidak bermanfaat lagi baru ditinggalkan.

Pragmatisme hanyalah sebuah teori tentang kriteria kebenaran yang berpegang pada metode ilmiah. Tidak termasuk aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filosofis. Mencari pengetahuan tentang alam dan menafsirkan gejala-gejalanya untuk kepentingan hidup manusia. Apakah mereka tidak percaya agama? Percaya, namun dengan anggapan berguna memberikan pegangan moral kepada masyarakat.

Mari kita telaah pernyataan diatas.

1. Jika epistemologi sekuler mengatakan bahwa kebenaran harus dilihat dari pespektif waktu atau bersifat temporal, maka yang perlu dipertanyakan ialah kebenarkan yang tidak termakan waktu yang senantiasa benar dari sejak dan sampai kapanpun di sampaikan. Maka jika ingin mematahkan logika-logika yang sifatnya hanya temporal haruslah paham akan kebenaran yang infinite. Kita tidak bisa memaksakan bahwa apa yang kita anggap benar harus dibenarkan oleh orang lain.

Pemikiran rasional cenderung bersifat solipsistik  dan subjektif. Melalui penalaran rasional akan diperoleh aneka penjelasan mengenai suatu objek tanpa ada konsesus yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebuah ide mungkin jelas dan dapat dipercayai bagi seseorang tetapi belum tentu demikian bagi orang lain.

2. Bahwa kaum pragmatis hanya memanfaatkan agama, karena agama dianggap fungsional dalam kehidupan manusia. Mereka mempercayai ajaran agama sepanjang ajaran itu bermanfaat, sementara yang tidak bermanfaat mereka abaikan. Maka yang harus kita sadari ialah, “Bermanfaat menurut ukuran siapa?“

Menurut kaum pragmatis, agama menimbulkan pengaruh baik pada jiwa individu maupun masyarakat. Bukankah jika demikian, manfaatlah yang menjadi ukuran kebenaran bukan kebenaran yang menjadi ukuran manfaat. Maka, tidaklah mengherankan jika ada yang dengan gampang saling menuding dan menyalahkan. Sebab dalam pandangan kaum pragmatis hal itu dipandang tidak bermanfaat.

Mempelajari sebuah agama bisa saja berangkat dari keragu-raguan atau  awalnya bermula dari percaya kemudian berakhir semakin percaya atau justru menjadi ragu dan tidak percaya. Berbeda dengan kajian keilmuan yang justru berangkat dari keraguan (skeptis) dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Seorang ilmuwan mula-mula selalu ragu akan sesuatu. Jika ada suatu pernyataan yang disuguhkan kepadanya maka seorang ilmuwan memerlukan penjelasan logis tentangnya, dia meminta bukti empirisnya, memerlukan fakta-fakta dalam dunia fisik yang mendukung penjelasan tadi. Bagaimana jika dalam rangkaian pengetahuan ilmiah yang sudah ia ketahui terdapat satu saja pengetahuan yang salah?

Friday, 30 August 2013

Sila sindenan Markonah

Pancasila.
Rumusan agung dasar negara,
Berubah sudah jadi moto para keparat mencari laba.

Keuangan Yang Maha Esa,
Korupsi yang adil dan lupakan kemanusiaan beradab,
Persatuan penjahat negara saling menjaga.
Kerakyatan yang dipolitisir oleh nikmat mencari selamat,
kebijaksanaan dalam usaha memiskinkan bangsa.
Keadilan bagi seluruh anggota dewan dan parlemen dalam menikmati hasil bersama.

Setan, apa pantas aku samakan dengan mereka.
Setan dan iblis pun tetap konsisten dengan ikrar kesetanan dan keiblisannya.
Lalu, ikrar manalagi yang mereka ingat saat menjadi wakil mengatur negeri?
Sumpah serapah jabatan dan kitab suci?
Ah, itu hanya simbolitas upacara pelantikan.Atau, janji-janji saat kampanye?

Itu juga cuma rayuan.
Presidenku mendua,
Negara entah berada pada urutan ke berapa.Partainya lebih penting,
Eksistensinya lebih narsis,
Perihatinnya seujung langit.

Hakim-hakim tipikor tidak lagi ingat sila-sila Pancasila.
Atau pun terlalu sibuk mengingat nominal suap yang harus dijual-belikan.
Terdakwa mengajukan banding,
Saksi berbalik kena tuding.

Pengacara berteriak dan tertawa sumbing
“Orderan lancar, cing.”
Ah, dikiranya aku terlalu lancang nantinya.

Sudahlah, ini ocehan Markonah yang mungkin sakit jiwa.
Bentuk lara dan kecewanya sebagai warga.Siapa peduli siapa sekarang?
Markonah hanya buruh sinden yang tidak diperhitungkan.
Bahkan mungkin nyawa hilang tak disemayamkan.
Tapi, Markonah telah ikrar.
Dia tetap Markonah yang melawan kebejatan.
Markonah tetap nyinden,
Tak peduli presiden bikin insiden.

Pancasila, Sila sindenan MarkonahAyda IdaaBraemar Hill, 6 March 2013Foto: conworld.wikia

Monday, 19 August 2013

Fenomena Dibalik “Masuk Angin“. Ada apa gerangan?

Hayo istilah yang tepat itu “Masuk angin“ atau “Angin masuk “ hehehe...
Saya akan membahas perihal satu istilah ini yang kerap sekali mengganggu kita dalam beraktivitas. Tepatnya karena sejak kemarin bahkan beberapa bulan lalu teman saya Si Reztoe Bumi ini bertanya terus soal masuk angin yang saya anggap sekedar candaan, eh ternyata sampai pagi tadi ditagih juga. Baiklah siapkan sabuk pengaman kita bahasa satu per satu.
A. Apa itu masuk angin?
Anda pasti bertanya-tanya kenapa sich kita bisa mengalami masuk angin. Tapi sebelum kita jauh membahas itu lebih dalam kita sebaiknya mengenali dulu “Masuk angin itu apa“.
Masuk angin?
Sebenarnya, angin tidak benar-benar masuk ke dalam tubuh. Yang benar adalah, tiupan angin menyebabkan suhu tubuh menurun. Lalu, muncul gejala seperti pusing, meriang, pegal-pegal, perut kembung, batuk-pilek dan demam. Di dunia kedokteran, istilah masuk angin adalah bagian dari gejala flu, khususnya yang sering terjadi pada pergantian musim (pancaroba). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Common Cold.
The common cold (also known as nasopharyngitis, rhinopharyngitis, acute coryza, or a cold) is a viralinfectious disease of the upper respiratory tractwhich primarily affects the nose. Symptoms include coughing, sore throat, runny nose, sneezing, and fever which usually resolve in seven to ten days, with some symptoms lasting up to three weeks. Well over 200 viruses are implicated in the cause of the common cold; the rhinoviruses are the most common.
This picture about a representation of the molecular surface of one variant of human rhinovirus (representasi permukaan molekul salah satu varian rhinovirus).
(Weiitzzzzz.... Kalau kata teman saya “Ga british ga keren“ Hehhee... But It doesn't only about keren atau ga keren ya. Tetapi karena memang dalam istilah kedokteran masuk angin itu belum terdefinisikan, selain itu tidak ada salahnya kita juga sesekali mencuri pengetahuan dunia barat. Selama kita tidak terjebak dalam sekulerisme ya tidak apa-apa. Nah.. Loh jadi ngelantur. Menurut dunia kedokteran istilah masuk angin ialah tidak enak badan atau gejala flu. Tidak termasuk golongan flu burung kok)
Kembali menuju waras.
B. Bagaimana kita bisa masuk angin?
Proses terjadinya masuk angin, berbeda dengan pengaruh hawa dingin yang mengenai seluruh tubuh, baik bagian belakang maupun depan. Ini karena, saat suhu udara turun, temperatur tubuh ikut turun. Sementara pada masuk angin, paparan angin umumnya hanya mengenai salah satu sisi badan, sehingga bagian itu saja yang turun suhunya. Misalnya pada perut sehingga kita merasakan mual dan kembung.
Masuk angin akut lebih mudah dikenali, karena biasanya berujung pada gejala flu seperti bersin-bersin dan pilek. Bila masuk angin berlangsung terus menerus, bisa menimbulkan rasa sakit kronis. Hal yang paling sering saya rasakan secara pribadi ialah nyeri leher dan pundak, gara-gara AC.  Masuk angin juga bisa menyebabkan perut kembung, karena dibagian tubuh terdapat titik-titik saraf yang berhubungan dengan organ bagian dalam. Jika titik-titik itu kena rangsangan, organ dalam ikut kena. Titik-titik ditubuh itu seperti dapat kita lihat dalam gambar dibawah ini.

(Lebih lanjut nanti akan saya bahas juga mengenai angin duduk. Hehehee.... Anginnya punya lantat ya kok bisa duduk? Wuuushh.... Ngawur)
C. Sebenarnya apa yang menyebabkan masuk angin itu terjadi?
Ada beberapa penyebab kenapa kita menderita gejala masuk angin ini. Diantaranya adalah cuaca dan masuknya udara ke dalam tubuh.
Cuaca yang dingin dapat menimbulkan mekanisme “vasoconstricion“ dimana terjadi penyempitan pembuluh darah kita. Akibatnya mekanisme untuk menghambat pengeluaran kalori berlebihan dari tubuh, sehingga tidak terjadi Hipotermi. Nah, Vasokonstriksi (penyempitan) pembuluh darah ini dapat mengakibatkan peredaran darah di tubuh kita kurang lancar, sehingga hasil metabolisme, dan asam laktat terakumulasi pada otot-otot kita. Akibatnya pegal-pegal dan seluruh tubuh kita tidak enak.
Penyebab lain adalah masuknya udara dan tertelan melalui rongga mulut atau istilah kedokterannya “aerophagi“. Gejala umum yang ditimbulkan adalah perut kembung akibat akumulasi gas dan udara yang masuk terkumpul secara berlebihan di organ lambung. Penderita akan mengalami dyspepsia, yaitu nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada yang mengakibatkan perut terasa penuh, sakit bahkan terasa terbakar. Bisa juga disebabkan oleh kebiasaan merokok. Misalnya saat kita mengendarai motor atau menaiki rolling coster dengan mulut terbuka. Bahkan jika terlalu parah bisa muntah-muntah.
(Tapi yang muntah ga selalu karena kembung loh. Bisa-bisa ibu hamil ikut salah sangka nanti. #Eh).
Banyak yang percaya bahwa masuk angin dapat diatasi dengan kerokan. Benarkah?
(Seumur-umur saya ga pernah namanya kerokan kalau pijet cuma bisa dihitung tangan itu pun sudah bikin kapok sampai sekarang ga mau namanya pijet) .
Well kita bahas kerokan disini.
D. Kerokan?
Coba perhatikan gambar bekas kerokan dibawah ini! Bagi saya ini mirip orang di cambukin atau cakaran macam hehehee....
Banyak orang sangat percaya pada khasiat kerokan hingga baru akan merasa sembuh jika telah dikerok. Konon, warna merah yang timbul pada kulit setelah kerokan adalah pertanda kalau Anda memang masuk angin. Makin pekat warnanya, pertanda makin banyak pula angin yang berdiam di tubuh kita.
(Weiiiittss... Entah mitos ini berkembangnya darimana).
Padahal, itu pertanda bahwa pembuluh darah halus (kapiler) di permukaan kulit pecah hingga terlihat sebagai jejak merah di tempat yang dikerok. Dengan kerokan itu banyak orang yang masuk angin merasa lebih baik. Sebab dengan kerokan dan pijat, otot menjadi lemas dan pembuluh darah halus di dalamnya melebar sehingga lebih banyak oksigen dan nutrisi yang tersedia untuk jaringan otot. Selain itu, toksin yang menyebabkan pegal dapat segera dibawa aliran darah untuk dibuang atau dinetralkan. Nah...loh.
Kita bahas kerokan lebih panjang sedikit.
Kerokan tak hanya populer di Indonesia. Vietnam menyebut kerokan sebagai cao giodi, Kamboja menjulukinya gah kyol,sementara di China dikenal dengan sebutangua sua. Bedanya, orang China memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam. Biasanya kerokan menggunakan berbagai pilihan minyak dan balsem, yang sering saya lihat masyarakat menggunakan minyak kayu putih.
Kerokan pada dasarnya mirip prinsip pemanasan dengan menggunakan moxa yang sering dipakai saat jarum akupunktur ditusukkan pada tubuh untuk mengatasi masuk angin. Prinsip ini juga tidak jauh berbeda dengan model terapi kop yang biasanya menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet, tabung bambu dan lain-lain.
Berbahayakah kerokan?
Kerokan merupakan salah satu usaha untuk menyeimbangkan suhu tubuh. Guna menjelaskan pola keseimbangan itu, ada konsep dasar pengobatan Cina yang membagi tubuh jadi bagian tubuh panas (disebut “yang“) dan bagian tubuh dingin (“yin“).
Bagian yang meliputi kepala serta tubuh bagian belakang. Sementara yin terdapat pada tubuh bagian depan. Menurut konsep “yin yang“, orang terbilang sehat bila “yin“ dan “yang“-nya dalam keadaan seimbang.
Kalau tidak seimbang, akibatnya ya sakit. “Yang“ terlalu tinggi, “yin“ rendah, ya sakit juga.
Dalam hal masuk angin, penurunan suhu tubuh menyebabkan pembuluh darah di kulit tubuh bagian belakang mengalami penyempitan (konstriksi). Pembuluh darah kulit yang mengalami konstriksi memberi reaksi dingin. Konstriksi itu merupakan efek kompensasi. Saat suhu tubuh bagian belakang menurun, otomatis pembuluh darah kulit berkonstriksi agar seluruh tubuh tidak dingin.
Konstriksi itu bisa mengakibatkan oksigenasi pada permukaan tubuh (terutama bagian belakang) jadi turun atau berkurang, sekujur badan terasa sakit. Selanjutnya, muncul gejala bersin. Nah, tindakan kerokan bisa mengubah suhu tubuh jadi seimbang kembali. Nah loh, jadi konsep dasarnya itu kerokan adalah usaha menyeimbangkan suhu tubuh bukan “mengeluarkan angin“ seperti mitos yang tersebar sejauh ini di masyarakat.
Sampai saat ini belum ditemukan efek samping kerokan. Yang jelas, cara ini bisa menimbulkan ketagihan. Kalau jaringan kulit dikerok, akan timbul reaksi jaringan. Bisa reaksi lokal, atau yang bersifat neural (saraf). Reaksi lokal terlihat langsung, misalnya warna merahnya kulit. Kerokan dengan intensitas kuat dan frekuensi rendah mengenai titik-titik saraf yang berhubungan dengan otak sehingga organ ini menyekresikan hormon endomorfin (B-endorfin, dinorfin, dan enkepalin). B-endorfin menimbulkan rasa nyaman karena ia berfungsi mengendalikan rasa nyeri. Adanya zat-zat itu dalam darah menyebabkan penderita merasa lebih bugar. B-endorfin juga merangsang organ viscera, terutama paru-paru dan jantung, sehingga penderita bisa bernapas lebih lega, serta peredaran darahnya jadi lebih baik.
Penyebab ketagihan pada kerokan adalah zat morfin (endorfin). Padahal, tujuan tubuh mengeluarkan zat morfin hanya untuk reaksi lokal. Karena kebiasaan, penderita pun jadi ketagihan. Nah, masih ingin bertahan dengan cara tradisional ini? Kalau begitu, kerok saja.
Namun untuk ibu-ibu hamil tidak disarankan untuk kerokan. Selain bisa menyebabkan kontraksi dini juga bisa memicu bayi lahir prematur. Jika ada kesempatan akan dibahas di artikel lainnya secara lebih detail.
(Selama kerokan tidak dimasukan ke dalam pasal tindak penganiayaan tidak perlu anda kwatirkan. Hehehee...)
Yang perlu diwaspadai adalah masuk angin yang disertai keringat besar, rasa nyeri atau rasa berat di dada, yang biasa disebut sebagai angin duduk. Kondisi ini bukan sekedar masuk angin berat, tetapi identik dengan sindrom serangan jantung koroner akut, yang bisa menimbulkan kematian dalam 15-30 menit sejak serangan pertama. Karena itu, jika tiba-tiba merasa nyeri dada, sebaiknya tidak melakukan aktivitas fisik apapun.
E. Apa yang harus dilakukan?
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menindaklanjuti dan mencegah masuk angin. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Minum obat-obatan; jika anda mengalami gejala maag dapat meminum obat anti asam lambung. Bila ada gejala demam dapat minum obat paracetamol. Sedangkan bila ada gejala ketegangan otot bisa meminum obat relaksasi otot seperti myonal.
2. Minum jamu ; jamu atau obat “warung“ yang mirip iklan berbunyi weee..eweess..eweess...bablas angine hanya berfungsi mengeluarkan udara dalam saluran pencernaan (jadi sering buang gas), dan menghangatkan badan karena banyak mengandung jahe, dll. Tapi, kalo jamu-jamu buat pegel-pegel..lebih baik jangan..karena banyak yang mengandung Steroid dan Obat penghilang sakit non steroid (NSAID), yang dapat mengakibatkan banyak komplikasi lain, seperti: Sakit lambung, bahkan sampai lambungnya jebol (bocor)..Hati-hati mengkonsumsinya, jangan keseingan.
3. Jaga makanan dengan asupan nutrisi seimbang. Kurangi konsumsi makanan berlemak, perbanyak konsumsi buah dan sayuran serta kurangi makanan yang mengandung banyak gas seperti kol dan sawi.
4. Lakukan olahraga yang melibatkan aktifitas fisik minimal 3 kali seminggu dengan durasi minimal 30 menit setiap sesi.
5. Istirahat yang cukup; lakukan istirahat tidur selama 6-8 jam sehari.
6. Dan yang penting sesuaikan pakaian yang anda kenakan dengan suhu lingkungan di luar tubuh. Hindari kontak langsung udara luar dengan kulit. Terlebih bila suhu sedang dingin.
7. Untuk anda yang mengendarai sepeda motor, jagalah pusar anda. Bila melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan bermotor tempelkan koyo dipusar anda. Fungsinya bukan untuk menghalau angin, tetapi agar pusar kita tidak dingin, ini ada kaitannya dengan meningkatnya asam lambung kita.
8. Minumlah minuman yang hangat sebelum dan sesudah makan, jangan biasakan minum air es. Ini juga bisa meningkatkan asam lambung dan lama-lama bisa jadi maag, perlu dicatat bahwa penyakit maag bukan hanya disebabkan karena sering telat makan tetapi juga bisa karena faktor ini.
9. Puasa, inilah misteri kehebatan puasa. Jika kita sering berpuasa maka asam lambung kita tetap terjaga. Artinya lambung kita jarang bekerja sehingga asam lambung yang dikeluarkan untuk memproses makanan juga jarang dikeluarkan berlebihan. Tapi ingat, kalo buka puasa jangan terlalu kenyang karena itu sama saja. dan jangan biasakan buka puasa minum yang terlalu dingin.
10. Melakukan Terapi BEKAM. Terapi bekam merupakan sebuah terapi yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Terapi ini bertujuan untuk :
1.Mengeluarkan Darah Kotor dan toksin
2.Meningkatkan Antibodi tubuh
3.Memperbaiki jaringan organ tubuh
Sekiranya inilah yang dapat saya bahas mengenai Masuk Angin dan kroni-kroninya. Semoga bisa sedikit menambah kelengkapan informasi yang anda butuhkan.
*Diintisarikan dari berbagai sumber.