Pun sedemikian bagiku.
BraemarHill, 16 July 2013
01.15 am
Ay
Menulis adalah cara saya mendewasakan hati, membahasakan jiwa dan mempertajam ingatan. Dengan menulis membuat saya berpikir lebih terbuka, dan bagi saya menulis adalah salah satu cara meningkatkan kecerdasan. This blog is about my mind, my world, and sometime what I just want to share. It is called life, but just call me “Ay“.
Ada sebuah pernyataan, “Pragmatisme yang lahir setelah epistemologi sekuler memvonis bawa tak ada cara menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh dapat diandalkan oleh manusia. Tak ada kebenaran yang bernilai mutlak. Semua kebenaran itu relatif termasuk agama, tidak hanya satu tetapi banyak, tergantung dari sudut mana memandang. Kebenaran agama juga tidak bernilai mutlak, karena kemutlakan hanya ada disisiNya. Setiap kebenaran termasuk kebenaran wahyu tak kebal kritik semua masih bisa dipertanyakan kebenarannya.“
Mari menanggapinya dengan kepala yang jernih dan hati yang tidak menyombong lebih dulu. Pernyataan seperti diatas sering mempengaruhi dasar-dasar pemikiran sebagian kaum yang mengaku sebagai generasi intelektual. Jika tidak arif menyikapinya kita bisa dengan sia-sia jatuh sebagai korban cacat pemikiran.
Mari sekilas kembali menelaah secara jeli bahwa, relativisme epistemonologis diorbitkan melalui sebuah argumen yang menumpang pada teori relativitas alam dan sifat kejamakan ilmu ukur. Relativisme epistemonologis dapat dengan mudah melemahkan keimanan. Bukti yang kuat ialah banyaknya orang percaya kepada Tuhan tetapi tidak kepada agama. Agama hanya dianggap sebagai kumpulan ritual untuk menenangkan jiwa yang kalut dalam dosa. Serta hanya mengharapkan Tuhan sebagai tempat memohon ampunan. Agama hanya dipandang secara pragmatisme. Tanpa isi tanpa esensi.
Coba kita pahami lebih lanjut apa itu pragmatisme. Kaum pragmatis menganggap bahwa manfaatlah yang lebih tepat dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Dengan mengutamakan bahwa sebuah kebanaran harus mempunyai manfaat praktis dalam kehidupan manusia. Lalu bolehkah saya bertanya, menurut kacamata siapakah manfaat itu bisa dikatakan memberi nilai praktis? Tentu setiap orang tidak mempunyai pandangan yang sama. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran pernyataan diatas bahwa kebenaran itu relatif. Maka jika kebenaran ialah relatif apakah masih bisa disebut sebuah kebenaran? Bisakah dijadikan sebagai tolak ukur berkehidupan? TIDAK.
Apakah tidak ada kaum pragmatis yang mempercayai kebenaran agama? Ada. Tetapi dalam prakteknya mereka hanya sebatas mempercayai dan mengambil secuil saja yang menurutnya bermanfaat dan yang tidak (menurutnya) akan diabaikan. Dimanfaatkan hanya sebatas kedudukan fungsional agama meskipun mereka mengakui bahwa agama mempunyai pengaruh yang baik dalam jiwa individunya. Inilah yang lebih disebut beragama tapi cuma sampai pada kulitnya.
Relativisme beserta anak buahnya seperti pragmatisme, solipsisme, perspektisme, skeptisme, inderterminisme dan seterusnya hanya dapat dibenarkan jika terletak pada tempatnya. Sayangnya, banyak pihak menggeneralisasi relativisme ini sehingga mencakup kebenaran lain yang “pasti benar“ menurut otak waras. Menyusup didalamnya. Maka jika kita tidak teliti akan sangat gampang dipengaruhi bahkan sadisnya dikibuli.
Menurut penganut epistemonologi sekuler, antara sains dan agama tidak dapat dikonfrontasi. Masing-masing harus berdiri pada wilayahnya. Agamawan berkutik pada teoritas agama dan ilmuwan pada bidang sains. Keduanya tidak boleh mengintervensi. Harus tahu batasannya.
Fine, bagi penganut epistemonologi sekuler mungkin hal ini benar. Tetapi mari kita coba berpikir selangkah didepan. Ilmu pengetahuan dan Sains seharusnya tidak pernah dilepaskan dari pengaruh terhadap keTuhanan. Mari kembali kepada Sang Maha Tahu. Sains seharusnya beremanasi dari segi keimanan/keTuhanan. Menyingkirkan Tuhan dari wawasan berpikir merupakan kesalahan paling besar, hal ini hanya akan menghasilkan sains yang rabun. Ibarat orang rabun jalannya lambat dan sering kesasar. Begitu juga dengan sains yang rabun. Bukanlah hal ini justru memposisikan diri sebagai makhluk paling pintar? Sepintar-pintarnya manusia ialah dia yang paling tahu letak kekurangannya maka dari sanalah ia belajar. Belajar dan belajar. Berproses untuk sesuatu yang lebih baik. Maka nyatalah ia tahu dari segala yabg diketahuinya ternyata ia belumlah tahu, sebab DIA-lah sang pemilik segala Pengetahuan tak terkecuali pengetahuannya sendiri.
Terlambat. Apapun bentuk alasannya saya lebih sering tidak toleransi dengan pelakunya mengenai sebuah keterlambatan. Apalagi bila sudah disetujui jadwalnya entah itu pertemuan penting, sekedar makan, ke dokter, apapun jenisnya yang berhububgan degan ketepatan waktu. Termasuk kalau terlambat gajian tentu saya lebih tidak toleransi. Begitu juga kalian kan?
Jika alasannya ada kepentingan bagi saya itu alasan yang sudah kadaluarsa. Sebab setiap orang tentu punya kepentingan. Keperluan dan kewajiban. Tetapi hal yang perlu digaris bawahi ialah bagaimana kita mengatur waktu agar semua kewajiban kita terlaksana tepat waktu. Matipun kalau belum tepat waktunya juga tidak jadi mati kan? Walau dicoba bunuh diri menginginkan mati lebih awal.
So, kenapa saya katakan saya tidak punya toleransi dengan kata “TERLAMBAT“?
Hal ini berhubungan dengan tingkat keseriusan kita menghargai orang lain. Artinya, kita menghargai waktu orang lain yang disediakan untuk kita. Karena bisa jadi kepentingannya tidak hanya sekedar menemui kita. Dan terlebih menikmati keterlambatan yang kita timbulkan. Ada banyak keperluan orang lain yang tidak kita tahu. Bisa jadi dengan keluarga, klien, teman-temannya bahkan yang jarang kita pikirkan adalah dia juga ingin punya waktu untuk dirinya sendiri.
Dengan datang tepat waktu dan tidak membuat menunggu artinya kita benar-benar mengagendakan pertemuan itu dengan serius. Misalnya, jika kita ada meeting dengan klien ataupun calon customer (Asuransi) hal ini sangat berpengaruh. Kenapa? Jika pada awal pertemuan saja kita tidak mampu meyakinkan dengan bentuk tanggungjawab yang sederhana (tepat waktu) bagaimana dengan tanggungjawab yang lebih besar? Jika anda terlambat sudah jangan heran jika anda diragukan.
Contoh lain yang lebih penting ialah saat rekrutment. Jadwal interview. Hal ini sangat menentukan, tentu didukung dengan intelektualitas dan kinerja anda (jika ada pengalaman kerja). Biasanya dari sini perwakilan perusahaan dapat menyimpulkan bagaimana anda kelak jika sudah bekerja. Baru wawancara saja sudah terlambat bagaimana jika sudah kerja? Kesempatan anda diterima sudah pasti lewat.
Terlambat sekali dua kali itu wajar. Tetapi jika terjadi ketiga kali itu menunjukkan bahwa kita jenis orang yang kurang mampu bertanggungjawab. Lalu bagaimana jika sudah berusaha maksimal tetapi ada hal tidak terduga yang harus diutamakan dan akhirnya membuat kita terlambat?
Well, segera lakukan konfirmasi. Memberikan kabar kepada pihak yang bersangkutan agar tidak bertanya-tanya dan menunggu tanpa jawaban. Entah itu terlambat bayar utang, tagihan, janjian.
Sesuatu yang sangat penting menyikapi hal ini adalah bagaimana kita memanage waktu. Yach, management waktu. Bukan hanya pengaturan financial yang butuh management, bukan hanya pemasaran, tetapi management waktu jauh lebih penting. Bagaimana kita mengkodisikan diri kita sendiri sedemikian rupa. Mulai dari bangun tidur di waktu subuh menjelang tidur malam hari lagi. Memanage kapan harus bekerja, istirahat, mencari hiburan ataupun menyendiri. Harus ada management waktu yang kondusif dari diri kita sendiri. Agar tidak terlalu capek dan semua bisa dikerjakan secara maksimal dengan waktu yang singkat.
Ada yang pernah bilang bahwa “saya tidak punya waktu yang cukup“ ; “Rasanya 24 jam terlalu singkat“. Dua puluh empat jam tidak cukup itu hanya untuk orang yang sedang jatuh cinta. Apa yang sebenarnya membuat anda seolah kekurangan waktu? Yup. Buruknya anda mengolah waktu. Management waktu. Jika anda mampu mengaturnya secara baik saya yakin anda akan punya banyak waktu senggang untuk diri anda sendiri.
Oleh karena pentingnya management waktu untuk diri anda dan saya sendiri juga. Mulai sekarang aturlah waktu sebaik mungkin.
“Kesempatan bisa saja kita ciptakan dengan mencari peluang tetapi waktu yang terbuang tidak bisa kita minta gantinya dan tidak ada yang mampu menciptakan ataupun mengulang detik yang sama setiap harinya.“
Seperti awan-awan dilangit. Ia menggumpal dengan segala bentuknya di atas sana. Lalu harus rela tertiup angin menjadi hujan manakala ia sedang asyik memamerkan bentuknya yang indah. Awan turun menjadi air hujan, jatuh ke daratan mengalir ke sungai dan kemudian mengalir ke laut lepas. Dipanasi matahari, ia menguap. Menjadi awan yang berduyun-duyun berarak di langit kembali. Ini perjalanannya.
Awan tidak pernah berhenti, ia tidak juga hilang. Hanya berubah bentuk dan nama di tempat yang berbeda. Awan tidak menolak ketika ia harus berubah menjadi hitam kelam diantara kilat dan petir. Awan tidak jua melawan ketika angin menjadikannya tiada. Awan menerimanya, karena ia tahu akan perannya di langit sana. Dari yang ada akan menuju tiada sampai akhirnya menjadi ada.
Segala sesuatu di alam semesta ini berhubungan. Seperti lingkaran yang tidak terputus. Tidak ada sesuatu apapun yang terjadi secara “kebetulan“. Alam memainkan peranannya dengan apik.
Setiap manusia sebenarnya bisa berkomunikasi dengan alam. Ia menghadirkannya melalui firasat. Melalui angin. Sinar matahari. Tunas bersemi. Lautan biru. Gunung nan hijau. Alam berbicara. Tapi kadang kita yang enggan mendengarnya. Apakah kau pernah sesekali berbicara kepada daun? Yach, seperti filosofi sebuah daun yang dulu sempat aku tuliskan. Untukmu. Untuk aku dan saya. Untuk kita.
Daun pun tak pernah benar-benar luruh dan menghilang dari kehidupan alam. Ia jatuh menjadi busuk. Berubah menjadi humus. Kandungan mikroba di dalamnya berperan sebagai mineral dan nutrisi pertumbuhan tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan udara. Menghasilkan bahan makanan. Bahan tekstil. Bahan kerajinan dan lainnya. Bahkan jika kita jeli disetiap helai benang yang kita kenakan ada peran daun disana.
Hidup yang tidak seperti garis lurus. Tetapi lingkaran. Lingkaran. Adakalanya engkau pun akan bertemu dengan orang yang telah lama kalian lupakan keberadaannya. Ada waktunya kita akan menemukan bagaimana peran kita yang sebenarnya dalam lingkaran ini.