Ada sebuah pernyataan, “Pragmatisme yang lahir setelah epistemologi sekuler memvonis bawa tak ada cara menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh dapat diandalkan oleh manusia. Tak ada kebenaran yang bernilai mutlak. Semua kebenaran itu relatif termasuk agama, tidak hanya satu tetapi banyak, tergantung dari sudut mana memandang. Kebenaran agama juga tidak bernilai mutlak, karena kemutlakan hanya ada disisiNya. Setiap kebenaran termasuk kebenaran wahyu tak kebal kritik semua masih bisa dipertanyakan kebenarannya.“
Mari menanggapinya dengan kepala yang jernih dan hati yang tidak menyombong lebih dulu. Pernyataan seperti diatas sering mempengaruhi dasar-dasar pemikiran sebagian kaum yang mengaku sebagai generasi intelektual. Jika tidak arif menyikapinya kita bisa dengan sia-sia jatuh sebagai korban cacat pemikiran.
Mari sekilas kembali menelaah secara jeli bahwa, relativisme epistemonologis diorbitkan melalui sebuah argumen yang menumpang pada teori relativitas alam dan sifat kejamakan ilmu ukur. Relativisme epistemonologis dapat dengan mudah melemahkan keimanan. Bukti yang kuat ialah banyaknya orang percaya kepada Tuhan tetapi tidak kepada agama. Agama hanya dianggap sebagai kumpulan ritual untuk menenangkan jiwa yang kalut dalam dosa. Serta hanya mengharapkan Tuhan sebagai tempat memohon ampunan. Agama hanya dipandang secara pragmatisme. Tanpa isi tanpa esensi.
Coba kita pahami lebih lanjut apa itu pragmatisme. Kaum pragmatis menganggap bahwa manfaatlah yang lebih tepat dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Dengan mengutamakan bahwa sebuah kebanaran harus mempunyai manfaat praktis dalam kehidupan manusia. Lalu bolehkah saya bertanya, menurut kacamata siapakah manfaat itu bisa dikatakan memberi nilai praktis? Tentu setiap orang tidak mempunyai pandangan yang sama. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran pernyataan diatas bahwa kebenaran itu relatif. Maka jika kebenaran ialah relatif apakah masih bisa disebut sebuah kebenaran? Bisakah dijadikan sebagai tolak ukur berkehidupan? TIDAK.
Apakah tidak ada kaum pragmatis yang mempercayai kebenaran agama? Ada. Tetapi dalam prakteknya mereka hanya sebatas mempercayai dan mengambil secuil saja yang menurutnya bermanfaat dan yang tidak (menurutnya) akan diabaikan. Dimanfaatkan hanya sebatas kedudukan fungsional agama meskipun mereka mengakui bahwa agama mempunyai pengaruh yang baik dalam jiwa individunya. Inilah yang lebih disebut beragama tapi cuma sampai pada kulitnya.
Relativisme beserta anak buahnya seperti pragmatisme, solipsisme, perspektisme, skeptisme, inderterminisme dan seterusnya hanya dapat dibenarkan jika terletak pada tempatnya. Sayangnya, banyak pihak menggeneralisasi relativisme ini sehingga mencakup kebenaran lain yang “pasti benar“ menurut otak waras. Menyusup didalamnya. Maka jika kita tidak teliti akan sangat gampang dipengaruhi bahkan sadisnya dikibuli.
Menurut penganut epistemonologi sekuler, antara sains dan agama tidak dapat dikonfrontasi. Masing-masing harus berdiri pada wilayahnya. Agamawan berkutik pada teoritas agama dan ilmuwan pada bidang sains. Keduanya tidak boleh mengintervensi. Harus tahu batasannya.
Fine, bagi penganut epistemonologi sekuler mungkin hal ini benar. Tetapi mari kita coba berpikir selangkah didepan. Ilmu pengetahuan dan Sains seharusnya tidak pernah dilepaskan dari pengaruh terhadap keTuhanan. Mari kembali kepada Sang Maha Tahu. Sains seharusnya beremanasi dari segi keimanan/keTuhanan. Menyingkirkan Tuhan dari wawasan berpikir merupakan kesalahan paling besar, hal ini hanya akan menghasilkan sains yang rabun. Ibarat orang rabun jalannya lambat dan sering kesasar. Begitu juga dengan sains yang rabun. Bukanlah hal ini justru memposisikan diri sebagai makhluk paling pintar? Sepintar-pintarnya manusia ialah dia yang paling tahu letak kekurangannya maka dari sanalah ia belajar. Belajar dan belajar. Berproses untuk sesuatu yang lebih baik. Maka nyatalah ia tahu dari segala yabg diketahuinya ternyata ia belumlah tahu, sebab DIA-lah sang pemilik segala Pengetahuan tak terkecuali pengetahuannya sendiri.
No comments:
Post a Comment