Searching

Monday, 25 February 2013

Filosofi tembang Durma, Kemunduran Etika hingga Kuntilanak

Durma merupakan salah satu bagian dari tembang Macapat atau dalam bahasa sunda disebut pupuh.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata durma berarti merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat (terdapat di Jawa,
Sunda, Bali), biasanya untuk melukiskan cerita-cerita keras (perkelahian, perang). (Sumber : KBBI)

Durma juga berasal dari kata Jawa Klasik / bahasa Kawi yang berarti harimau. Dur sendiri dalam bahasa Jawa Kawi berarti ala (buruk).  Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Harimau adalah lambang dari 4 nafsu manusia, yaitu :
1. Ego centros – nafsu angkara,
2. Polemos –nafsu mudah marah/berangasan,
3. Eros – nafsu birahi/sofia,
4. Relegios – nafsu keagamaan, kebenaran dan kejujuran.

Durma juga bisa diartikan sebagai darma, yaitu sifat ingin memberi atau berderma yaitu keinginan untuk menolong sesamanya yang sedang dalam kesulitan.  Durma juga menyiratkan hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya.

Dengan adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban tugas. Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.

Tanggung jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab hubungan antara sesama manusia menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan
rasa saling curiga dan buruk sangka. Dengan demikian maka hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan manusia dari segala permusuhan.

Berikut contoh tembang Durma yang mengingatkan kita tentang kehidupan sosial dan profesionalisme:

Lamon dika epasrae panggabayan
Ampon mare apeker
Terang ka'eko'na
Ad janji maranta'a
Pon pon brinto tarongguwi
Anggap tanggungan
Ma’ ta’ malo da’ oreng

(Asmoro, 1950 ; 19)

Terjemahannya :

(Jika kamu mendapat beban pekerjaan,
Sudah selesai dipikir,
Tntang seluk-beluknya kerja,
Usaha untuk menyelesaikan,
Jika demikian haruslah serius,
Bekerja dengan penuh tanggung jawab, agar tidak mengecewakan orang).

Selain makna diatas tembang Durma dapat juga diartikan sebagai berikut:

Tembang durma bisa dqqiuraikan bahwa Durma berarti munduring tata krama (kemunduran etika/tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmogati, Duryudana.

Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura ( nglengkara ) yang mewakili makna negatif ( awon) seperti yang saya sebutkan diatas tadi bahwa dur adalah sesuatu yang buruk. Sebut saja misalnya : duratmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicaraburuk), durajaya ,dursahasya , durmala , durniti, durta, durtama , udur , dst.

Tembang Durma , diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benarnya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri ( nuruti rahsaning karep ).  Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi.

Nasehat bapak ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha . Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu. Inilah yang saya maksudkan dengan kemunduran etika tata krama.

Kemunduran itu sendiri dewasa ini sangat nampak jelas kita rasakan. Tidak hanya pada golongan muda, kaum alit, borjuis, religius, politikus, dan hampir disetiap golongan lapisan masyarakat kita. Parahnya jika manusia itu sendiri telah merasa bahwa dirinya adalah yang paling benar. Maka bisa dengan mudahnya ia akan menyalahkan orang lain tanpa lebih dulu mengkajinya. Udur-uduran (mengeyel dan berdebat) yang sebenarnya kadang tidak membawa guna bahkan lebih sering memecah belah.

Manusia tidak lagi menempatkan empatinya, kemunduran rasa prihatin dan tepo seliro (toleransi) mulai dikebiri. Layaknya bahwa ia adalah yang sepantas-pantasnya merasa ingin dihormati namun enggan menghormati manusia lainnya. Inikah kemunduran itu?

Banyak kaum muda yang kurang menaruh rasa hormat kepada orang tuanya, menjadi arogan dan menentang norma-norma sosial ataupun beragama. Tidak hanya pemuda, kaum religi pun juga tak kalah mengalami kemunduran etika. Etika untuk saling menghormati kepercayaan dan kekhusyukan ibadah orang lain. Inikah kemunduran?

Padahal dalam kehidupan bermasyarakat etika itu sangat diperlukan, agar kita tidak mudah terjebak dalam keakuan. Dalam perasaan yang merasa paling ingin diunggulkan. Ujungnya akan terselip sebuah keinginan untuk disanjung dan dielu-elukan. Ingin dipuji dan dinomorsatukan. Padahal jika kita sedikit saja merenungkan, pujian adalah jebakan. Jebakan yang menjadikan kita kufur tak tahu syukur atau justru akan berbalik membuat kita semakin interopeksi diri.

Mundurnya etika itu juga ditandai dengan sikap anti kritik. Menurut sebuah pepatah "Raja akan menjadi bodoh bila tidak mau mendengar kritik dari sang pembangkang, dan Pembangkang akan menjadi bodoh jika hanya tahu mengkritik tanpa mau menelaah apa yang telah raja kerjakan."

Orang lebih suka mengkritik perbuatan orang lain, tampil ke depan menjadi polisi moral tapi terkadang juga lupa akan dirinya sendiri. Mundurnya etika ini juga sering ditunjukkan oleh orang-orang besar negeri ini.

Saling tunjuk saling tikam sepertinya lumrah dan wajar, adu argumentasi pembenaran. Media-media cetak dan elektronik juga tak kalah dijadikan alat perhelatan ini.

Beberapa bulan ini malah kita hafal mulai dari Janji-janji mendukung soal berantas korupsi tapi nyatanya justru ia pelakunya sendiri, sumpah monas, sumpah pocong bahkan janji peti mati yang tak kalah ngeri-ngeri sedap didengar telinga. Sumpah-sumpah ini terasa sangat enteng diucapkan, bahkan berasa tak ada bebannya. Justru kesannya malah seakan berbicara kepada anak-anak TK. Ini suatu kemunduran etika-kah?

Berikut salah satu tembang Durma yang lain:

Mundur kang dadi tata krama
Dur iku duratmoko duroko dursila
Dur iku durmogati dursosono duryudono
Dur udur tan mampu nimbang rasa
Dur udur paribasan pari kena
Maknane nglaras rasa jroning durma
Sinom dhandanggula kang sinedya
Lali purwaduksina kelon asmaradana
Lali wangsiting ibu lan rama
Mangkono werdine gambuh durma
Amelet wong enom ing ngarcapada
Pan mangkono
Jarwane paribasan parikena

Artinya:Mundur (menjauhi) dari etika
Dur, itu pencuri, penjahat tak beretika
Dur, seperti Durmogati, Dursasana, Duryudana
Dur, mau menang sendiri, tak menimbang rasa
Dur, perumpamaan sekenanyaItu perumpamaan Durma
Remaja dalam mimpi-mimpi indah
Lupa segalanya berpeluk asmara
Lupa pesan Ibu Bapaknya
Seperti perumpamaan Gambuh dan Durma
Yang selalu memikat semua kaum remaja dalam kehidupan di muka bumi
Seperti itu,
maksud pengertian sekenanya.

Inilah filosofi Durma dan kemunduran etika yang dapat saya tuliskan. Tentu pembaca juga bertanya apa hubungannya dengan kata KUNTILANAK pada judul artikel?

Ada kalangan yang menyebutkan bahwa tembang durma yang terdengar magic dan mendayu merupakan sebuah mantra untuk memanggil kuntilanak. Tentu kita tidak asing dengan salah satu tembang durma yang menjadi Soundtrack film KUNTILANAK yang dibintangi oleh Julie Estelle. Berikut liriknya:

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet..."

artinya :
Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna
Jangan terbangun dari tidurmu
Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)
Aku sedang gelisah,
Jin setan ku perintahkan
Jadilah apapun juga,
Namun jangan membawa maut.

Dari lagu di atas, mari kita cermati liriknya lebih dalam lagi.

(Lingsir wengi sliramu tumeking sirno ojo Tangi nggonmu guling/ Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna jangan terbangun dari tidurmu)

Pada bait diatas sudah sangat jelas bahwa si penyanyi meminta (entah siapa yang diminta bisa jadi memang setan atau lelembut lainnya termasuk kuntilanak) jangan bangun atau jangan bangkit dari peristirahatannya ketika malam telah tiba.

(awas jo ngetoro aku lagi bang wingo wingo/ Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)
Aku sedang gelisah)

Berikutnya dijelaskan bahwa Si penyanyi memintanya jangan menampakkan diri sebab ia sedang gelisah. Artinya tidak ingin diganggu.

(Jin setan kang tak utusi dadyo sebarang wojo lelayu sebet/ Jin setan ku perintahkan jadilah apapun juga, namun jangan membawa maut)

Nah, sangat jelas bukan pada bait ini bahwa si penyanyi meminta jin ataupun si setan menjadi apapun asal tidak membawa maut atau kekacauan.

Jadi dapat kita simpulkan sendiri bahwa tembang Durma Lingsir Wengi bukanlah tembang untuk memanggil Kuntilanak.

Semoga bisa saling memberikan manfaat dan sedikit menambah pengetahuan kita atau memperdalam tentang tembang-tembang jawa (Macapat) yang disebut Pupuh dalam bahasa Sunda. Sekiranya ada tulisan saya diatas yang tidak sesuai dengan senang hati saya terima kritik dan sarannya untuk melengkapinya. Terimakasih. Salam.

No comments:

Post a Comment