Telah kau koyak raga tanpa rupa
Namun, masih kau kata lupa.
Telah kau hisab tulang tanpa sukma
Dan, kau kata itu hanya.
Kau robek-robek genderang lambung menganga,
Kau sebut itu tak terencana.
Butir-butir asin biji keringat
Tak jua lepas engkau jilat.
Dan kau kata itu masih.
Telah kau palu nasib anak-anak tak berbapak tanpa emak,
Dan kau umumkan itu sedekah.
Tapi nyata, engkau jadikan perahan dibalik keren notah-notah kebijakkan.
Telah kau potong jari-jari tak berkuku
Mencari nasib atas kefasihan persaingan partai dan golonganmu
Kau jadikan bodoh dan seolah tak tahu,
Kau jadikan dungu menurut seleramu.
Berpuluh-puluh tahun nasib masih jua kau permainkan,
Dan kau kata itu harapan.
Dari dinasti berganti dinasti,
Dari jamannya orde lama digulingkan,
Orde baru dihancurkan,
Era reformasi dielukan,
Hingga tegak sistem presidensial.
Ke kanan bertemu macan,
Ke kiri ada singa,
Ke depan banyak buaya,
Dibelakang ayam-ayam mengorek-ngorek gundukkan tanah dan saling berebut makanan.
Cakar mencakar mayat dipersimpangan,
Baunya meledak hingga diperbatasan kuburan
Kau tahu itu nyata,
Tapi buta mata berlagak tiada apa
Seolah kau adalah korban paling sengsara.
Lupa kau,
Pada rel-rel kereta api belasan kepala dilindaskan
Ayda
BraemarHill, 17 Februari 2013
No comments:
Post a Comment