Jingga merah mata memanah,
jingga jengah dalam ogah berselimut sumgringah,
Tiada siapa peduli apa.
Jingga rentan, jingga bimbang jingga hilang.
Tak tau kapan berada dimana.
Semua sibuk,
Semua riuh,
Semua juga menganut penyakit akut,
Pura-pura pikun tak masalah bila tak runut.
Century dikebiri, gaungnya makin hilang ditelan bumi.
Hambalang jadi pialang, banyak pawang.
Semua mencari-cari selamat saling tunjuk saling hianat.
Pewayangan dari dzolimin mendzolimi dzolimin.
Isu meteor jatuh, menghapuskan gempar penyimpangan pajak penghuni Cikeas.
Media disibukkan berita-berita pesanan,
Hingga sulit kita bedakan mana asli mana buatan.
Yang satu ngoceh terus ngotot jadi presiden,
Yang satu bersantun ria seakan ia adalah korbannya.
Tunjuk ini tunjuk itu lalu hilang entah kemana.
Sandal jepit diorder lima tahunan,
Koruptor santun dapat potongan.
Bandar laknat amnesti diturunkan,
Korban tabrak motor dipidanakan
Sementara, sang anak menteri masih sekedar menjalani pemeriksaan.
Suap Sapi katanya konspirasi,
Diminta jadi saksi malah rencana kabur ke luar negeri.
Kong kalikong dibelakang bokong.
Aduhai, ini semrawut dari calon sebuah Negeri.
Rakyat negeri semut,
Koar-koar merencanakan maut sang ratu semut.
"Telah tak, tak tilah ketika tak.
Nasibku telah kau ketukan nada dasar.
Tak tau pelog atau selendro.
Tapi nasib adalah ritme,
Yang bisa diubah jika saja tak bersekutuku pada lirik."
Jingga mengoyak bukit-bukit ombak.
Ayda Idaa
(Negari, Gari-Gari Naga)
BraemarHill, 17 Februari 2013
No comments:
Post a Comment