Searching

Friday, 22 February 2013

Jangan bawa Tuhan untuk memecah belah

Aku dari Jawa,
Pulau yang riuh dengan kepadatannya
Aku jawa,
Dengan segala etnik budayanya yang menuju binasa,
Binasa hilang tergusur retorika ambisi manusia.
Aku masih bagian dari Indonesia juga.
Masalahkah bila aku bukan Sumatera?
Bukan Kalimantan?
Bukan Sulawesi, Bali, Halmahera, Biak, Papua, Madura, Nusa Tenggara, Bawean, ataupun bukan Lombok?
Masalahkah bagi Indonesia?
Tidak.

Tapi,
Bagi penghianat-penghianat itu aku bisa saja dijadikan object kekisruhan karena aku Jawa.
Karena kalian Sunda,
karena kalian Nias,
Karena kalian Asmat,
Karena kalian Dayak,
Karena kalian Bugis.
Sehingga kita gampangnya diadu domba.

"Kamu bukan muslim?" Kafir
Pernah ku dengar itu.
Perduli apa, dia dengan keyakinan manusia lainnya?
Lantas, salahkan bila ada yang berbeda?
Dimana letaknya?

Pemuka-pemuka agama kini berubah,
Fanatiksme agama diajarkan berlebihan dari sembunyi-sembunyi hingga siar secara lantang.
Mengkafirkan yang tidak segolongan.
Yang tidak sewahamnya.
Disulap menjadi kaum kearab-kearaban yang tak mengerti esensinya.
Kebencian ditanamkan.
Dengan alasan menjaga keaslian aqidahnya.
Tidak semua kyai demikian,
masih ada yang benar-benar berhati manusia.
Tapi itu jadi manusia langka.

Lupa mereka sejarah Indonesia, iyakah?
Lupa pada Pattimura yang mengangkat pedangnya?
Lupa pada Imam Bonjol?
Lupa pada Pangeran Antasari?
Lupa pada H.O.S Tjokrominoto?
Sutan Syahir? Si Singamangaraja?
Bahkan bisa jadi tidak ingat akan
Silas Papare, Marten Indey,
W.Z Johannes, I gusti Ketut Jelantik?
Atau juga disingkirkannyakah bahwa perempuan-perempuan juga berjuang sebelum mereka.
Tjut Nya' Dien, apa dia ingat?
Martha Cristina Tijahahu,
Maria Walanda Maramis,
Dewi Sartika
Nyai Ahmad Dahlan?
Yang mereka ingat bisa jadi hanya dalil untuk mempolitisi.
Aku tak menuduh, tapi kenyataan berbicara seperti itu sekarang.
Saling tuding saling tikam.

Jauh, jauh sebelum kita ada.
Indonesia diperjuangankan tanpa melihat perbedaan.
Dengan darah yang sama merah
Dengan tulang yang sama putihnya.

Ngilu, ngilu tersendu aku dalam bingung pemahamku.
Raya berubah seperti ring pertempuran antara bromocorah.
Segala diharamkan,
Yang haram dihalalkan.
Sembunyi dibalik dalil-dalil Al-Qur'an
Menjadikannya tameng sebagai jalan jihad, katanya.
Jihad yang mana?
Jihad dengan pengeboman gereja?
Padahal disana banyak anak-anak kecil yang tak tahu juga salahnya.
Jihad dengan pengrusakan?
Jihad dengan bawa pentungan?
Damai itu mahal, ya Tuhan.
Hingga nyawa disembelih pun jua tak kunjung tiba.

Apa terlalu takut?
Jika ideologinya tercampuri,
Dari manusia-manusia yang dianggapnya penuh dosa.
Manusia mana yang ada dosa?
Picik.
Mencuci otak anak-anak muda dengan segala perlik.
Mencecoki dengan faham-faham kebencian.
Mencecoki dengan rasa empati yang disingkirkan.
Jihad itu Sahid.
Tapi jihad justru jadi salah kaprah.

Bilaku lantang bersuara,
Akan dikucilkan.
Akan dihantam.
Bisa jadi malah diterkam.
Mereka menyusup dalam sendi-sendi kekuasaan.
Mepolicik segala sesuatu dengan politisasi.
Menyalah artikan segala kewenangan.

Aku tak punya massa untuk dikerahkan menyerang,
Aku tak punya kuasa untuk dijadikan senjata,
Aku tak punya uang untuk membeli suara,
Tapi hanya nurani yang tak akan tergadaikan.
Aku hanya punya tinta untuk bersuara.
"Bubarkan, partai-partai yang mendompling diri dibalik dalil keislaman. Bubarkan."

2 comments:

  1. Rusak aqidahnya,rusak akhlaknya,teriakan "Allahu Akbar" jadi tedeng aling-alingnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teriakkan Allahu Akbar tidak pernah menjamin kadar keimanan seseorang, terlalu naif jika hanya menggadaikan dalil sebagai komoditas keagamaannya.

      Delete