Searching

Wednesday, 20 February 2013

Semesta Rasa, Kinaya (part 1)

Langkahnya jelas sekali terdengar tergesa-gesa. Entahlah, yang jelas aku mengamatinya sejak tadi. Bahkan seakan ia juga tak melihatku ada. Atau memang aku dianggap tidak ada. Pikiranku semakin kacau, semakin tidak karuan. Berkali-kali aku memperhatikannya sibuk dengan telepon genggamnya. Urusan kantorkah? Mungkin.

"Mas, makanlah dulu. Keburu dingin makanannya." aku tetap mencoba seperti biasanya. Tenang, tanpa irama penghakiman.

"Aku tidak lapar, makanlah dulu dengan Dio." pintanya.

Dio, adalah anak semata wayang kami sejak 10 tahun pernikahan ini. Dia baru 8 tahun, dengan sebuah kelainan Cerebral Palsy tipe Hypotonic.
Hypotonic sebuah diagnosa yang membuatku sontak meneteskan airmata.

Anak-anak penderita hypotonic memiliki otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang jadi spastic atau athetoid yang juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara. Begitu juga, Dio. Ia tidak bisa bermain bebas dengan anak-anak seusianya. Bahkan untuk makan dan minum ia harus berada pada sandaran kursi rodanya.

Terapi demi terapi belum juga membawa hasil yang seperti kami inginkan. Dio, ia tak bisa berbicara dengan normal. Tidak juga pendengarannya. Tidak juga daya tangkap otaknya.

Aku urungkan niatku untuk mengganggu mas Adit di ruang kerjanya. Salah satu kamar kosong dirumah kami yang ia sulap sebagai ruang kerja, tempatnya berjam-jam mengerjakan data-data dari proyeknya. Aditya Widjaya, suamiku.

Aku bergegas menghampiri Dio. Kusuapi bubur halus bercampur olahan daging dan sayur yang aku masak khusus untukknya. Sejak kelahirannya, aku telah memutuskan berhenti bekerja disalah satu media cetak. Aku memilih konsentrasi merawat Dio secara lebih intensif, aku melakukkannya sendiri. Tanpa baby sister menyentuhnya, kalau pun ada mbak Ratna dirumah tugasnya adalah membantuku membereskan rumah saja. Tapi Dio sepenuhnya tanggungjawabku.

Aku dulu sempat kecewa. Aku marah. Aku merasa ini tidak adil. Kenapa Dio, kenapa harus malaikat kecilku yang seperti ini? Aku sering meminta keadilan, tapi Tuhan tidak mendengar. Pikirku.

Tapi ada mas Adit yang menguatkankku, ia membuka mata hatiku untuk menerima Dio secara utuh. Orang tua mana yang tega melihat anaknya tidak normal? Belum lagi, beban mental dari lingkungan. Aku merasa anakku dikucilkan. Tidak diterima. Ada yang bilang ini karma. Ini kutukkan. Ini adalah hasil perbuatan kami yang keliru. Kalian tidak akan merasakan posisiku yang mengandungnya 9 bulan 10 hari. Kalian tidak merasakan sakitnya melahirkannya. Protesku suatu hari.

Aku rindu dengan hari-hari yang aku lalui bersama mas Adit yang sosoknya perlahan menghilang dariku beberapa hari ini. Dia aneh, dia tak seperti biasanya. Acuh.

"Aya, hari ini aku tidak makan malam dirumah. Ada meeting dengan relasi, mungkin pulang agak malaman." Tut...tut...tut... Sambungan telepon terputus. Entahlah hal itu membuatku semakin menaruh curiga. Kekhawatiran atau cemburukah? Tapi mas Adit bukan tipe laki-laki yang mudah bermain perempuan. Aku mengenalnya sudah hampir 20 tahun lebih. Bahkan sejak kami masih sama-sama SMA. Lalu ia pindah ke Yogya meneruskan kuliahnya dan aku masih tetap di Surabaya sampai menunggu 2 tahun kelulusanku.

Konsentrasiku terhadap Dio kini terbagi. Ada apa dengan mas Adit? Sikapnya semakin dingin, semakin tidak bisa aku mengerti. Entahlah, siang itu aku ingin mencari tahu atas kecurigaanku. Aku masuk ke ruang kerjanya, aku tahu ini salah. Tapi rasa penasaranku tak bisa dibendung, aku berharap ada sesuatu yang bisa aku temukan disana. Apapun itu.

Tiga hari kemudian. Kulihat mas Adit terkulai lemas di sofa. Aku ditemani mbak Ratna baru saja pulang dari Rumah sakit mengantarkan Dio terapi. Sigap mbak Ratna mengambil alih Dio dan membawanya ke kamarnya.

"Mas Adit baik-baik saja?" selidiku mendekatinya.
"Kinaya, aku ingin berbicara serius padamu."
"Ada apa mas?"

Lama ia terdiam tanpa kata, bahkan hampir setengah jam lamanya. Hanya kepalaku ditarik diatas bahunya. Sesekali dielus permukaan jilbab hijau penutup kepalaku. Dalam hatiku masih tersimpan banyak tanya, terlebih setelah ku temukan foto seorang perempuan yang aku kenal di laci meja kerjanya kemarin.

Mas Adit masih menahan kalimatnya. Raut mukanya kacau tak terbentuk lagi. Sampai akhirnya kalimat itu diucapkannya juga. 'Larasati mengandung janinku' Larasati, Larasati sahabatku sendiri yang menjanda itukah. Amuk. Hatiku semakin hancur tidak terbentuk. Tiba-tiba aku menjadi sangat membencinya. Sangat.

"Nikahi dia mas, tapi lepaskan aku dan Dio lebih dulu." tangisku tertahan. Hanya muka merah menyala dan segurat kebencian yang tak terkata.

Aku beranjak tanpa menambah sepatah kata apapun sambil bergegas menuju kamar Dio. Ku lihat Mbak Ratna memangkunya sambil memegangi pensil ditangannya. Digerakkannya walau tak sempurna. Walau hanya goresan-goresan tak terbaca. Aku segera mengambil alihnya.

"Mbak tolong tutup pintunya, aku hanya ingin berdua bersama Dio." Pintaku kepada mbak Ratna.

"Iya buk, mau saya bikinin teh atau jus?"
Aku hanya menggeleng.

Aku peluk erat Dio-ku, jantung hatiku. Ku ciumi setiap tubuhnya. Ku peluk lagi dengan sangat erat. Dan air mataku sudah tidak tertahan.

"Ma... Ma.. Ma...". Katanya yang terbata-bata. Tangannya mengusap airmataku dengan sangat lemah. Lalu ia, berusaha mengambil kertas gambar. Dengan susah payah ia gambar sebuah gambar hati. Aku semakin jatuh dalam kepiluan yang mendera. Tuhan, masihkah kau coba aku dengan semua ini? Sepuluh tahun, semua itu hancur secara tiba-tiba.

Aku masih berusaha menyapa mas Adit besok paginya. Ia bahkan telah hampir seminggu tidak menyentuh Dio. Aku memakluminya, karena ku pikir ia sudah terlalu sibuk dan aku tak mau menambah bebannya dengan soal Dio.

"Aya, kamu makan ini ya. Dio juga papa suapin ya." Mas Adit mengambil beberapa sendok nasi goreng ke piringku. Lalu beranjak menuju kursi Dio dan menyuapinya. Dulu pemandangan itu jadi aangat indah, tapi hari ini bagiku telah berubah menjadi sebuah basa-basi semata. Aku hanya menatapnya dingin, sesekali tersenyum menyentuh tangan Dio yang duduk tepat disampingku.

Aku tak berbicara apapun, tidak juga menuntut banyak hal setelah kejadian sore kemarin. Aku hanya menunggu kapan talak itu mas Adit berikan. Aku tak mau hidup dengan lelaki yang hatinya terbagi dengan wanita lain. Apa aku egois? Aku memintanya segera mungkin mengurus perceraian ini.

Hari-hariku sekarang hanya terfokus untuk Dio. Bahkan saat mas Adit tidak dirumah sekarang bukan lagi menjadi hal aneh. Justru kalau dia dirumah itu sangat aneh. Sering ia pulang larut malam dalam keadaan mabok berat. Atau menyendiri dekat kolam ikan belakang sambil menghabiskan berbungkus-bungkus rokok. Ia nampak kurus dari biasanya. Sementara keputusanku masih bulat, aku tak mau dimadu. Sebenarnya aku tak tega melihat kondisinya.

"Mas, tidurlah. Sudah jam 3 pagi." Aku pun akhirnya menemuinya di pinggiran kolam. Walau aku benci bau asap rokok itu. Mas Adit, tak berbicara sepatah katapun. Ia hanya membalikan badannya kearahku, memelukku erat. Perlahan kurasakan tetesan air hangat di bahuku yang berasal dari airmatanya.

No comments:

Post a Comment